34. Raga-nya, Butuh Disangga

258 67 3
                                    

"Mahesa! Sudah berapa kali saya bilang?! Kalau tentang pelajaran sudah selesai, cepat beres-beres! Lihat, di wastafel ada piring kotor! Kapan sih, mau bergerak sendiri tanpa harus disuruh-suruh--"

"Mahesa baru pulang," anak itu memotong ucapan sang Ibu, berkata lirih.

"Saya juga baru pulang." tampiknya.

Agni berembus kasar, maju satu langkah mendekat pada Mahesa, "Oh iya, udah berani ya kamu, potong ucapan orang tua? Nggak sopan! Saya belum selesai bicara." tandas wanita tersebut.

Kedua manik cokelat itu menatap nyalang remaja laki-laki di depannya yang terduduk, "Dengar, nggak?! Bukannya teleponan sambil enak-enakkan duduk. Bangun!" Agni menarik paksa lengan kanan Mahesa agar berdiri.

Mahesa merunduk, enggan menatap sang Ibu yang selalu memandangnya dengan sorot penuh gejolak amarah. Tangan kanannya dipegang erat, lebih tepatnya dicekal hingga ia menahan ada rasa sedikit nyeri.

Agni memejamkan matanya sejenak, lalu merampas ponsel yang ada di genggaman putranya itu.

"Bu, jangan diambil--"

Prakk!

Nyatanya, benda pipih itu sudah lebih dulu jatuh ke lantai. Suaranya lumayan nyaring, sebab layar ponsel tersebut, ikut pecah karena lemparan yang terlalu keras.

"Kenapa? Nggak terima?"

Sejenak, Mahesa membiarkan ponselnya di bawah. Ia menatap dalam sang Ibu. Dari sorot netra obsidiannya tak dapat diartikan. Yang jelas, lagi-lagi ia merasakan hatinya bagai ditusuk belati.

Raganya terhenyak. Lebur, melipur dan mungkin ... akan meruai, kemudian lenyap dan menghilang.

Jangan sampai.

Atau mungkin sebentar lagi.

"Kenapa Ibu selalu bersikap seperti itu? Mahesa salah apa? Apa yang mau Ibu inginkan lagi dari Mahesa? Semua yang Ibu mau, semua yang Ibu minta, semua yang Ibu--"

Plakk!

Agni berhasil mendaratkan tamparan pada pipi kanan Mahesa, hingga wajah mulus remaja itu kian menoleh ke samping.

Tangan yang tak lagi dicekal, terangkat mengusap tulang pipi yang terasa panas. Bukan hanya itu, kedua matanya pun ikut merah dan memanas.

Menahan tangis.

Laki-laki harus kuat.

Sedangkan Agni sendiri, wanita berambut sebahu itu menatap telapak tangannya sendiri. Mahesa masih enggan menatapnya kembali, Agni sedikit terguncang, tubuhnya terasa gemetar, sebelum akhirnya melontarkan sesuatu.

Namun, sudah lebih dulu disambar oleh penuturan Mahesa.

"Apa lagi? Apa lagi yang harus dilakukan biar seperti Jayen?"

Mahesa menyebut satu nama yang berhasil membuat Agni bergeming. Anak lelakinya tersebut kini sudah kembali menatap ke arahnya. Kini, empat mata itu saling pandang. Yang satu dengan sorot kilat nan tajam, satunya lagi sendu dan dalam.

"Berhenti," ujar Agni.

"Ibu selalu sebut nama Jayen sebagai perbandingan. Mau bagaimana pun caranya, sekeras apa pun perintahnya, aku ... nggak akan bisa penuhi kemauan itu," balasnya.

"Karena aku, Mahesa. Mahesa Naradipta. Bukan Jayen Chaanakya." ia membalas, dengan penuh penekanan.

"Iya! Kamu Mahesa. Sering membuat orang kesusahan! Apa kamu sadar tentang itu? Setidaknya kalau tidak bisa buat orang senang, jangan menyusahkan. Kamu itu sama. Sama seperti...." Agni menggantungkan ucapannya sendiri. Wanita itu mengatup tiba-tiba, seakan berpikir, sebelum melontarkan kata yang akan diucapkan.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang