11. Dari Gantari untuk Mahesa

324 95 5
                                    

Teman aku.

Mendengkus malas seraya merotasikan bola mata. Ya, dua kata di atas itu lanjutan pesan yang Mahesa kirim sebelumnya kepadaku. Semalam. Akhirnya, aku bisa menghela napas lega, dan berlanjut berbalas pesan sampai beberapa kolom chat.

Mahesa Naradipta, namanya kini sudah tertanam dalam benakku. Jujur, ini adalah pertama kalinya berteman dekat dengan lawan jenis. Sungguh, aku belum terbiasa. Tidak terlalu peka, namun tetap kekeh menjalankannya.

Seperti sekarang, ia sama sekali tidak membuka suara, jika tidak aku duluan yang memulai.

"Mahesa, saran kamu apa? Keluarin, dong. Kita kan kelompok, harus mengutarakan pendapat masing-masing." Sebenarnya perkataanku bukan hanya untuk Mahesa saja, melainkan teman satu kelompok yang lainnya.

Birai, Arjuna dan Bayanaka.

Anak laki-laki dengan tubuh tinggi nan elastis itu menggebrak meja, walau tak terlalu keras. Arjuna mengembuskan napas kasar, dari yang kulihat raut wajahnya tampak malas dan tidak bersemangat.

"Ck! Gara-gara, lo, tahu nggak?" Arjuna melirik pada Mahesa, "Kalau kemarin lo nggak pulang duluan, udah beres kerjaan kayak gini." Ia tampak menyalahkan seseorang yang sedari tadi hanya bergeming.

"Udah dong, jangan mulai," ujar Birai.

Aku mengerutkan kening atas perkataan yang dilontarkan oleh Arjuna. Seakan-akan yang paling salah di kelompok kami adalah Mahesa.

"Kamu jangan nyalahin Mahesa seenaknya. Kemarin juga, kamu diam-diam aja sambil dengerin musik. Di grup cuma iya-iya aja. Berarti gara-gara kamu juga." Saat itu juga Arjuna mulai memalingkan pandangannya dariku.

Cih, sosok Arjuna memang 'semenyebalkan' itu. Jika saja ia tak mengajak Mahesa untuk bergabung menjadi kelompoknya, aku juga tidak ingin ikut satu kelompok. Hanya saja ada Mahesa yang harus aku temani.

"Maaf, sekarang bisa mulai?" tanya Mahesa, membuka bukunya sembari menatap satu per satu dari kami.

"Bisa. Waktunya cuma sebentar. Besok terakhir," balas Bayanaka, yang ditanggapi anggukan setuju dari Birai.

Aku menoleh pada Mahesa, melemparkan senyum tipis. Tetapi ia hanya membalasnya dengan tatapan datar yang tertuju ke arahku. Serius, itu adalah yang paling tidak mengenakkan. Membuat sebal, walau sedikit, karena lebih banyak rasa malunya sebab tak mendapat respon yang sama.

Kami merogoh ransel masing-masing. Mengeluarkan buku juga sebuah tinta bertempat untuk memulai coretan. Semua sudah lengkap di atas meja berbentuk bundar, namun tidak denganku yang masih merogoh sampai memasukkan kepala.

"Nyari apa, An?" Pertanyaan Birai membuatku reflek mendongak.

"Sebentar, aku cari tempat pensil. Kok nggak ada, ya? Atau, ketinggalan di kelas? Kalau gitu, aku--"

Hendak beranjak bangun, tiba-tiba saja Mahesa menyodorkan bolpoinnya ke arahku. "Serius? Terima kasih, ya." Kembali duduk, Mahesa hanya mengangguk tak mengucapkan sepatah kata pun.

Arjuna berdeham, dan itu membuat pandanganku dari Mahesa beralih, "Bisa nggak ya, nanti aja. Sekarang cepetan mulai kerja kelompoknya. Gue nggak ada waktu banyak. Jam tiga sore nanti ada latihan buat turnamen basket." Ucapannya terdengar sarkas, Arjuna menopang dagu dengan tangan kiri. Dan kanannya digunakan untuk mengetuk-ngetukkan bolpoin pada meja.

Bayanaka menghela napasnya sembari membuka lembaran buku kosong, "Kita sepakat yang di grup, ya?"

Semua kompak mengangguki, tak terkecuali Mahesa, meski ku lihat ada sesuatu di raut wajah yang tak biasa. Anak laki-laki itu sesekali membuka suara atas beberapa saran.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang