30. Sosok yang Dicari

227 70 2
                                    

"Pantesan, semalam diajak main ke rumah Kai nggak mau," Bayanaka mengernyit mendengar Tranggana mencibir di sebelahnya.

Ia menutup buku. Menoleh pada sumber suara, "Apa?"

"Lo. Semalam nggak ikut kita, main ke rumah Kai, tahunya lagi jalan sama An."

Aku hampir saja tersedak ludah sendiri akan penuturan Tranggana di depanku. Saat ini, kami, hampir satu kelas, masing-masing duduk satu meja bersama teman-teman. Berdiskusi, akan penjelasan dari Pak Rahen guru seni budaya. Katanya, kelas kami akan mengikuti pentas drama, tiga minggu lagi.

"Kata siapa, gue sama An cuma cari buku. Ya, kan?" Bayanaka menoleh, reflek aku mengangguki ucapannya tersebut.

Tranggana tetap Tranggana, ia bahkan tampak tak percaya akan itu. Kalingga terkekeh, Arjuna memasang wajah datar namun alisnya tampak hampir bertaut. Entah, kenapa mereka memilih duduk bersama denganku, Birai dan ... Mahesa.

"Cari buku apa cari buku," goda Kalingga, membuatku mendengkus sebal.

Birai menepuk meja, "Ye! Sirik aja lo, bilang aja nggak ada cewek yang mau diajak jalan sama lo," tuturnya.

"Ck! Kata siapa? Banyak bro, pada ngantri malah," Kalingga menyugar rambutnya ke belakang sembari tersenyum mengejek. Dapat kulihat, Birai jengah memandangnya.

"Berisik!"

Seketika pandangan kami beralih pada Arjuna yang tengah menopang dagu.

"Kenapa sih, Jun? Cemberurt aja dah dari pagi. PMS lo?" tanya Tranggana.

"Nggak dikasih ongkos kali sama Ibun," Abin mengedikkan bahunya.

"Siapa Ibun? Ceweknya?"

Kalingga termangu saat Birai melontarkan pertanyaan yang menurutku sedikit ... ah, apa ia tidak tahu Ibun?

"Maknya lah, anjir! Gimana, sih. Kudet amat. Panggilan kesayangan itu," ujarnya, sembari tertawa. Abin menutup mulutnya untuk menahan. Mungkin, menurut mereka itu adalah suatu hal yang lucu. Arjuna si tampang sangar, mata setajam elang, garis rahang tegas dan alis hitam tebal, memanggil sang Ibu dengan kata tersebut.

"Berisik!" Arjuna mendengkus untuk yang kedua kalinya.

Bayanaka dan Tranggana sama tawanya. Birai tersenyum masam, sedangkan aku ... meskipun tidak tahu lucunya di mana, tapi rasanya sudut bibir ini ingin terangkat.

"Mahesa? Lo manusia apa bukan, sih? Diam mulu kayak manekin," tandas Tranggana di sela tawanya yang mengudara.

Aku mendelik. Pada Mahesa yang duduk di sebelah Bayanaka. Sedari tadi ia hanya diam. Hanya batang hidung mancungnya yang terlihat. Anak laki-laki itu mengehela napasnya, lalu menunjukkan senyum tipis meski terlihat skeptis.

Sedari kemarin, aku dan Mahesa tak banyak berinteraksi. Sudah dua hari ini pula, aku lebih memilih pulang bersama Birai. Toh, ia pun memilih untuk bersama Hana. Ke mana-mana dengan gadis itu. Ke kantin, jalan berdua keliling sekolah, makan bersama, berbincang asyik berdua, bahkan yang kemarin pun, kulihat mereka berduaan di taman belakang.

Semalam, Mahesa sempat menghubungiku. Sepenggal percakapan dalam waktu sebentar, yang isinya;

"An, kamu bisa ke rumahku? Di sini ada Hana, dia datang---"

"Nggak. Aku lagi sama Bayanaka."

"Bayanaka? Ke mana? Ngapain?"

"Jalan--maksudnya, cari buku. Udah ya, teleponnya aku tutup, memangnya nggak kasihan tuh sama Hana. Nungguin kamu teleponan."

"I-iya, selamat bersenang-senang dengan ... Bayanaka."

"Hm, kamu juga sama Hana--"

"An, aku--"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang