42. Tentang Perasaan

229 74 9
                                    

"Lo ngerti nggak, sih? Ibunya aja nggak suka lo di sana, sekarang juga udah sore. Ayo, gue antar pulang."

Arjuna menghela napas gusar. Posisi kami kali ini saling berhadapan, di area parkiran rumah sakit yang terlihat cukup sepi. Aku belum sempat menanggapinya lagi, setelah mengatakan ingin tetap di sini sampai Mahesa kembali sadar.

Namun Arjuna sudah lebih dulu bertutur sekali lagi, "Lo bisa ke sini lagi, tapi nggak sekarang. Bukan apa-apa, gue kasihan."

"Nggak usah kasihan."

"Peduli." jawabnya.

Bibirku mengatup, atmosfer di antara kami kian berubah. Langit di atas sana sebentar lagi akan menggelap, hanya menyisakan pancaran matahari dari sebelah barat yang tampak sedikit. Arjuna memandangku, tepat pada manik mata.

Seketika tatapanku bergulir ke arah lain, "Terserah. Kalau kamu mau pulang, pulang sendiri aja sana."

"Lo mau gue buka kamera ponsel? Lihat diri lo," Arjuna menatapku dari atas sampai bawah, "Muka lo kusut, tuh, kayak baju belum disetrika. Mata lo benar-benar keciri habis nangis. Seragam lo berantakan, rambut lo juga udah keluar dari ikatan."

"Mahesa pasti baik-baik aja. Lebay lo, sampai segitunya," Arjuna malah mencibir.

Lelaki itu mengadahkan kepalanya ke atas, sebelum pada akhirnya kembali padaku dengan helaan napas panjangnya. Arjuna berdecak samar, kemudian berkata lagi.

"Setelah lo pulang, ganti baju, makan atau izin sama Bunda lo itu, terserah mau balik ke sini sampai berapa kali pun. Yang penting lo pulang dulu untuk sekarang."

"Ck! Buruan sih. Jangan sampai gue berubah pikiran buat antar lo pulang. Ini udah mau gelap," ujarnya.

Tanpa menjawab pun, aku mengikuti langkahnya menuju kendaraan yang ia bawa. Untuk membalas ucapannya saja terasa malas, dalam perjalanan pulang hanya suara deru kendaraan yang terdengar. Kami tak lagi saling bercakap, lebih tepatnya berdebat, karena itu yang sering terjadi.

Arjuna itu sering berubah-berubah. Kadang aku sendiri pun tak bisa menilainya secara pasti. Terkadang bersikap konyol, seenaknya, semaunya dan keras kepala tanpa memikirkan orang lain. Kadang juga seperti sekarang. Peduli, katanya.

Sampai di depan rumah, baru saja menapakkan kaki setelah turun dari motor, suara gesekan pintu gerbang dibuka, terdengar. Menampakkan Bunda Rinai yang sepertinya, menungguku sedari tadi.

Arjuna ikut turun, untuk kedua kalinya ia mengambil punggung tangan Bundaku untuk bersalaman.

"Kamu itu kebiasaan, nggak pernah cek ponsel. Padahal Bunda udah kirim pesan beberapa kali nanya keberadaan kamu di mana. Nggak mungkin dari sekolah pulang jam segini. Habis jalan sama Arjuna?"

Pertanyaan pada kalimat terakhir Bunda membuat orang di sebelahku tersedak ludahnya sendiri. Arjuna berdeham untuk menetralkan.

"Nggak! Mana ada, aku jalan sama Arjuna. Diantar sama dia aja sebenarnya aku malas. Tapi dia maksa."

"Bagus dong, itu artinya Arjuna lelaki yang bertanggung jawab, peduli sama teman. Iya kan?" Arjuna manggut saja mengiyakan.

"Kami dari rumah sakit, karena Mahesa. Awalnya An nggak mau pulang, makanya saya paksa. Takut, Tan--"

"Bunda,"

"Takut Bun-da? Khawatir atau gimana." lanjutnya.

"Mahesa kenapa?" tanya Bunda.

Belum sempat kujawab, Arjuna sudah lebih dulu menyela, "Sebelumnya dia sama An, pas saya dan teman-teman lain lihat, Mahesa udah pingsan dan mimisan. Sekarang dirawat, kemudian orang tuanya datang, terus ... An kena--"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang