51. Tentang Hari Ini

271 68 6
                                    

"Harusnya tadi naik bus aja, kakimu jadi makin sakit, kan." Aku menghela, melihat Mahesa yang sudah duduk menyandarkan punggungnya pada bangku panjang.

Kami baru saja sampai di sebuah taman,  yang jaraknya tidak begitu jauh dari area sekolah. Berjalan kaki, membutuhkan waktu lima belas menit. Kemudian aku ikut duduk di sebelahnya.

"Sedikit, nanti juga sembuh."

Baik. Aku memilih untuk tidak menanyakan itu lagi. Mahesa memangku ranselnya--membuka dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah buku yang tak asing di penglihatanku.

"Halamannya belum sampai habis, tapi setiap saat, aku menuliskan sesuatu di buku pemberianmu," ujar Mahesa, seraya membuka-buka lembaran yang tampak diwarnai oleh coretan tangannya.

"Silakan bercerita, aku bakal dengerin sampai selesai," balasku, dengan nada rendah.

Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Kedua matanya dipejamkan sejenak sebelum akhirnya terbuka kembali sembari menoleh padaku. Mahesa menatap sendu, netra hitamnya itu seakan kosong, meski ada aku di hadapannya.

"Sebelum itu, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah mengajak dan menerimaku sebagai teman, ketika yang lain memilih untuk menjauh. An, aku bahkan nggak ada harapan apa-apa selain ingin hidup tenang. Tenang dalam artian tanpa kekangan." suaranya berat, Mahesa membuka lembaran kosong, dan sebuah   bolpoin ada di tangan kanannya.

Setelah ungakapan panjang itu ia kembali menutup mulut. Tiga puluh detik kami dalam keheningan, hingga suara notifikasi dari ponselku berhasil memecahkannya.

Ada rentetan pesan dari orang rumah.

Bunda♡

An, kamu di mana?|
Bunda tiba-tiba kepikiran|
Kamu nggak apa-apa, kan?|

Maaf, Bun|
Lupa kabarin|
Aku sama Mahesa|
Kami nggak apa-apa|

Oh, sama Mahesa....|
Bunda sempat khawatir barusan|
Kalau ada apa-apa|
atau minta dijemput|
segera kabari|

Iya Bundakuu|

"Siapa?"

"Bunda. Nanya aku lagi di mana. Aku jawab aku sama Mahesa. Masa Bundaku tiba-tiba kepikiran dan khawatir," aku menjawab dengan segera.

Mahesa manggut-manggut, lalu mengalihkan pandangannya ke arah depan, "Harusnya kamu senang."

Aku senang, kok!

"Ibuku nggak pernah menunjukkan hal seperti itu. Kadang pernah berpikir, apa Ibu benar-benar tidak menginginkanku?" Ah, bicaranya berubah menjadi baku lagi--seperti ketika pertama kali aku berbincang dengannya.

Penuturannya belum selesai.

"Kamu tahu? Ayahku yang beberapa kali kamu lihat, ternyata bukan Ayah kandungku, An. Dia Ayahnya Jayen, Adikku yang sudah tiada. Ibu nggak pernah memberitahu hal itu," Mahesa berkata lirih.

Jujur, aku benar-benar terkejut akan hal tersebut. Mahesa tersenyum getir, ia berucap dengan pandangan ke bawah, menatap sepasang sepatu yang dikenakan.

"Waktu itu, aku selalu berdoa ingin menyusul Adikku."

"Itu artinya, Tuhan sayang sama kamu, Mahesa. Kamu masih ada di sini, untuk tetap hidup. Menjalani yang ada, sampai benar-benar menemukan kebahagiaan?"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang