"Jangan terlalu dekat sama Arjuna."
Penuturan Mahesa, membuat alisku mengernyit bingung, "Lah? Kenapa? Iya, sih, dia memang nyebelin. Selalu bikin naik darah karena tingkahnya. Tapi, barusan kan, Arjuna cuma ngajarin aku cara pegang bola basket yang benar waktu mau dribble."
Mahesa mengusak rambutnya sendiri, "Maksudku, kalau kamu terlihat dekat sama Arjuna, nanti dijadiin bahan omongan sama anak-anak perempuan lain. Sepertinya, mereka suka sama Arjuna. Dan...." ia menggantungkan ucapannya.
"Apa?"
"Dan ... nggak suka melihat orang terlalu dekat sama Arjuna. Contohnya, kamu. Kamu jangan terlalu dekat sama Arjuna, An. Aku takut, nanti kamu kenapa-kenapa." lanjutannya diuraikan dengan bicara cepat tanpa jeda. Yang kudengar jelas, Mahesa mengatakan bahwa ia takut jika aku kenapa-kenapa.
Mengapa jadi seperti ini, sih? Yang lain mengatakan jangan dekat-dekat Mahesa jika tidak mau kena imbasnya dari Arjuna. Sedangkan Mahesa sendiri, mengkhawatirkanku jika terlihat dekat dengan laki-laki menyebalkan itu.
Hah ... khawatir?
"Iya! Lagi pula, sebenarnya aku malas sama Arjuna. Pokoknya, dia tuh, nyebelin banget, banget, banget!" Aku mendengkus kesal, kemudian meneguk sebotol air mineral yang diberikan oleh Mahesa.
"Jangan seperti itu." celetuk laki-laki di sebelahku.
"Kenapa?"
"Sekarang, bilang sebal sama Arjuna. Nanti ...."
"Apa?"
"Ka-kamu, suka."
"Nggak, lah! Ngaco kamu." Tanganku tanpa sengaja memukul lengannya. Hingga Mahesa reflek mengaduh tertahan, disertai raut wajah bingung dengan mata yang kian menyipit.
"Nggak yang tahu, An." Anak laki-laki itu mengembuskan napasnya, "Tapi jangan sampai...."
Lanjutan dari kalimatnya terdengar samar-samar. Mahesa yang tadinya melangkah sejajar denganku kini semakin mempercepat derapnya hingga membelakangi. Ya, kami saat ini berjalan dari gapura komplek setelah turun di halte.
"Kamu bilang apa barusan?" Aku berusaha mensejajarkan langkahnya lagi.
Mahesa dengan embusan napas beratnya menggeleng, "Nggak."
"Oh ... itu. Aku, jangan sampai suka sama Arjuna, ya? Ya ... memang sih, nggak ada yang tahu. Kalau beneran terjadi, yaudah. Kan, nggak tahu juga ke depannya seperti apa."
Laki-laki di depanku ini sontak berbalik badan, membuat langkah kami sama-sama terhenti. Mahesa, dengan tubuh setegap karang, yang senantiasa berjalan cepat guna menghindar, juga kedua netranya yang selalu berkedip, di setiap jeda kata yang dilontarkan.
Matanya yang sayu ku lihat terpejam sejenak. Lagi, embusan napasnya mengudara. Tanpa tersadari, manik obsidiannya hanya terpatri pada wajahku. Dia ini kenapa? Mahesa sering sekali membuat jantungku berdegup lebih cepat.
"Kamu berhak suka dengan siapa aja, An."
"Iya. Memangnya siapa yang berani ngatur. Perasaan kan, nggak bisa bohong."
"Sama seperti aku sekarang. Siring mengelak waktu pikiran mengatakan itu. Tapi perasaan memang nggak bisa berbohong. Termasuk ... kalau saat ini aku mulai merasa nyaman sama kamu, Gantari."
Penuturannya berhasil membuatku bergeming selama beberapa saat. Jujur, kurasakan saat ini adalah darah yang berdesir. Kata-kata manisnya lagi-lagi membuatku mengernyit bingung, meski nyatanya terasa sedang terbang.
"Nyaman sebagai sahabat."
Kemudian, rasanya seperti dijatuhkan lagi dari lapisan langit ke tujuh. Ck! Sungguh hiperbola, namun itu cukup kompleks untuk mendeskirpsikan. Dengan sudut bibir terangkat, aku berusaha untuk terkekeh menanggapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...