Ricuh, berisik dan tidak setenang seperti biasanya. Ya, kelas XI IPA 4 saat ini ada jam kosong, teman-teman yang tadinya duduk tenang berubah seketika dan mulai keluar dari bangkunya.
Ada yang berpindah ke tempat duduk sebelah lalu berbincang bersama, bermain game online di belakang kelas, ada juga yang memanfaatkan waktu kosongnya untuk tidur.
Seperti aku saat ini. Kelopak mata mencoba terpejam dalam kepala yang kutelungkupkan. Namun tetap tidak bisa, kala tiba-tiba suara riuhnya menjadi semakin riuh.
Sebab, Abinawa si ketua kelas, mengatakan bahwa katanya setelah ujian semester nanti, kami akan ada field trip.
"Belum pasti, gue juga dengar dari kelas sebelah. Nanti juga dikasih tahu sama Bu Anka." Setelahnya, Abin melangkah mendekat pada keempat temannya yang sudah bergerombol di meja Tranggana.
Aku menghela napas panjang, mengangkat kepala merubah posisi menjadi menopang dagu. Papan tulis di depan masih ada coretan rumus fisika yang benar-benar membuatku pusing.
"Siapa yang piket hari ini? Hapus tuh, papan tulis! Muak gue lihatnya!" Itu bukan suaraku, tapi suara Birai di sebelah yang berhasil membuatku menutup telinga.
Kalingga menggeser meja--melangkah ke depan kelas dan mulai menghapus sesuatu di sana.
"Suruh hapus papan tulis, malah tulisannya yang dihapus!" seru Tranggana dari tempat duduknya, membuat Kalingga menoleh malas.
"Bacot maneh!" sungut lelaki itu.
Birai di sampingku mengangkat tangannya seolah sedang berdoa, "Mudah-mudahan, gurunya beneran nggak masuk! Asli, kapan lagi coba kita jamkos? Jarang-jarang, kan?" Ia menoleh, aku mengangguk-angguk saja sebagai tanggapan.
Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, hingga menemukan satu titik yang membuat bola mataku berhenti berotasi. Sosok Mahesa di bangku belakang, memancingku untuk keluar dari tempat duduk.
Padahal di sana, ia sama sekali tak mengidahkan orang-orang di sekitar atau bahkan meliriknya sekilas. Mahesa hanya terpaku pada sesuatu di depannya yang tidak kuketahui itu apa.
Langkahku terayun, melewati barisan hingga sampai di hadapannya. Laki-laki itu reflek mengangkat kepala, disertai dengan kening yang mengerut.
Tidak ada desas-desus karena aku mendekat pada Mahesa, karena sebagian dari mereka sudah mulai terbiasa akan hal yang kulakukan seperti sekarang ini. Namun, meski dari ekor mata, aku dapat melihat seseorang di sebelah kiri yang tampak memperhatikan.
"Aku duduk di sini, ya?" Mahesa langsung menggeser duduknya saat itu juga.
Lagi-lagi kami duduk bersebelahan, tepat seperti di bus sore kemarin. Ah, untuk yang keberapa kalinya lagi-lagi aku mengingat ucapan Mahesa yang mampu membuatku berdesir hebat.
Tujuan hidupnya; tetap ada untuk selalu di sisiku.
"Ada apa?"
Aku menggeleng, "Nggak ada apa-apa, cuma pengin ... di sini. Memangnya nggak boleh?"
Mahesa menelan salivanya, lalu menjawab dengan pelan, "Nanti teman-teman marah. Mereka nggak suka lihat kamu terlalu dekat dengan--"
"Lihat? Mereka nggak peduli, Mahesa. Kamu nggak usah pikirin itu. Semuanya juga tahu, kita berteman." potongku, bertutur lebih cepat darinya seraya mengedarkan pandangan.
Netraku sempat bertemu dengan Arjuna yang duduk di atas meja sembari meneguk minuman bersoda. Tidak berselang lama, karena cepat-cepat aku kembali menatap Mahesa.
Laki-laki itu mengangguk lemah. Ia menggeser sebuah buku mendekat padaku. Sebuah benda yang berhasil membuatnya fokusnya tak teralihkan. Note book berwarna yang sempat kuberikan padanya kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...