04. Di Bawah Awan Kelabu

406 100 5
                                    

Dering bel menggema di seluruh penjuru SMA Darmawangsa. Buru-buru aku bereskan semua alat tulis yang ada di meja--memasukkannya ke dalam ransel. Kecuali, satu buku lumayan tebal, yang kemarin aku pinjam dari perpustakaan. Sekarang, begegas untuk mengembalikan.

Dari kemarin sore, sang langit di atas sana tak berhenti-hentinya menjatuhkan ribuan rintik air bening yang terbentuk karena awan kelabu. Pagi tadi hanya gerimis, sekarang malah deras lagi.

Aku melihat, beberapa siswa-siswi lain jalan cepat melewati koridor yang tampak kotor karena terciprat air yang mengalir dari atas atap.

Licin, aku melangkah sehati-hati mungkin.

"Perpustakaan sudah mau ditutup. Ada perlu apa?"

"Saya mau kembalikan buku ini," aku menyodorkan buku bersampul warna merah tersebut pada sang wanita berkacamata, penjaga perpustakaan. Kami saling melempar senyum, sebelum akhirnya aku berpamitan untuk kembali.

Hari ini, aku tidak pulang bersama Birai. Ya, soalnya gadis itu sedang tidak masuk. Di absennya 'izin'. Pagi-pagi ia mengirimkan pesan. Katanya sih, Birai ada acara keluarga penting yang mendadak.

Jadilah seperti sekarang, berjalan sendirian dengan derap yang menimbulkan bunyi. Dari jarak dua puluh meter, ku memicingkan mata saat melihat sesuatu di sana. Juga memasang rungu lebih fokus, agar tetap terdengar, sebab derasnya hujan dapat menyamarkan suara.

"Ck! Banci lo!"

"Cemen banget, sih! Masa hujan segini aja pake payung. Cewek lo?!" seruan itu mengundang gelak tawa beberapa temannya.

Mahesa tampak tak peduli akan Arjuna dan kawan-kawan yang sedang mengejeknya. Anak laki-laki itu tetap membuka lebar payung berwarna hitam.

Kulangkahkan kakiku semakin cepat, hingga tiba di hadapan mereka, berbicara dengan cukup keras. Berhasil membuat Tranggana menoleh dan mengerutkan kening ke arahku.

"Kalian nggak boleh kayak gitu! Itu hak Mahesa, mau pakai payung atau nggak." cetusku, lalu beralih menatap tajam si Ketua; Arjuna.

"Apaan sih? Cewek nggak jelas. Mending lo pulang, dah. Nanti Mami lo nyariin. Atau nggak, dia ke sini jemput lo sambil bawain payung sama jas hujan juga?" timpal Kalingga. Tentu saja perkataannya itu ia layangkan untukku.

Dasar. Cowok-cowok bermulut lemes!

"Eh, cowok bisu? Lo ngapain masih di sini? Udah sana pulang pake payung hitam lo itu," ujar Arjuna, tawanya mengudara. Penuturannya berhasil membuatku yang gampang terpancing menjadi semakin tersulut.

"Mahesa nggak bisu! Jangan bilang dia kayak gitu."

Kedua tangan di samping sudah terkepal. Arjuna dan tiga temannya itu mulai menunjukkan sifat sebenarnya kepadaku yang notabenenya; murid baru.

"Ck!" Satu orang di paling belakang terdengar mendecak. Aku tahu, itu Bayanaka. Tetapi ia tidak banyak bertingkah seperti yang lainnya.

"Lah? Nggak bisu dari mana? Liat tuh, orang di belakang lo, diam aja dari tadi," celetuk Tranggana, didapat anggukan setuju dari Kalingga, dan Arjuna yang mengangkat alis meremehkan. Sedangkan Bayanaka, ia hanya menonton.

Ternyata apa yang sering diucapkan teman-teman terbukti benar adanya. Aku menarik napas, melihat empat orang laki-laki di hadapanku ini dengan tatapan nyalang. Terlebih lagi untuk Arjuna, rasanya ingin ku obrak-abrik wajah tengilnya itu.

"Kenapa, kaget? Gue kasih saran nih, ya, mending lo diam aja, deh. Nggak usah ikut-ikut campur urusan kita sama cowok di belakang lo." Arjuna mendelik pada Mahesa.

"Memangnya Mahesa punya masalah apa sama kalian?"

Arjuna melirik temannya satu per satu, "Nggak ada." Ia mengedikkan bahunya.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang