10. An, Jangan Marah

332 98 13
                                    

Di sini kami bertiga sekarang. Di kedai minum dan makanan yang ada di seberang sekolah. Bukannya hanya aku, Mahesa, Birai, Arjuna dan Bayanaka, namun ada juga beberapa siswa-siswi berseragam sama yang ikut nongkrong di tempat ini.

Entah untuk mengisi perut, atau hanya memesan jus sembari duduk lama menikmati Wi-Fi yang tersedia.

Sekali lagi, aku mengehela napas. Sebab, sedari tadi yang memberi saran dan bersuara hanya aku dan Bayanaka.

"Fungsi mulut kalian selain untuk makan dan minum, apa lagi?" tanya Bayanaka.

Kulirik Mahesa yang tengah menyalakan ponselnya. Ia sedari hanya bungkam tak membuka suara. Juga pada Birai yang masih sibuk makan bakso cuangki. Arjuna juga, ia bahkan enak-enak mengangat kaki dengan menyandarkan punggu di kursi, bersama earphone yang menyumpal di telinga.

"Santai, Bay. Lo nggak liat apa. Gue lagi makan. Kata Bapak, nggak boleh makan sambil ngobrol." Birai melahap satu bakso bersama kuah yang tampak sedap. Walaupun begitu, aku sama sekali tak berniat untuk mencicipinya.

Melirik kembali pada Arjuna, ternyata masih berada di posisi yang sama. Dan itu membuatku beranjak dari sisi Mahesa, berdiri mendekat Arjuna dan mencabut benda yang menyumpal rungunya.

"Ck! Apaan, sih? Balikin, nggak!"

"Jangan asik sendiri aja, kita kan kelompok. Harus diskusi bareng-bareng."

"Lah? Suka-suka. Lagi pula, suruh siapa juga lo mau ikut kelompok gue?" Arjuna mencibir, ia merebut kembali benda kesayangannya dari tanganku. Aku lantas menghela napas pasrah, kembali pada posisi awal, duduk di sebelah Mahesa.

"Kamu juga, diam aja daritadi." ketusku pada Mahesa, membuat anak laki-laki itu menoleh.

"Maaf, habisnya aku juga bingung," ia berucap pelan.

"Yaudah, jadi gimana?" tanya Bayanaka, sembari melepas kacamatanya.

"Tentuin kita mau buat cerita yang seperti apa. Maksudku, temanya dulu, tentang apa. Habis itu, baru kita susun alur dan plotnya. Endingnya juga harus benar-benar matang, entah itu sad ending atau happy ending. Jangan gantung. Oh ya, genre-nya apa menurut kalian?" Sembari menunggu jawaban dari keempatnya, aku menyesap es teh manis yang sudah ada di meja sejak awal.

"Romance, aaaa pasti seru tuh, ada adegan baper-baperan!" celetuk Birai.

Berdecak mendengar usulnya, walaupun aku suka membaca beberapa buku novel, tetapi tidak dengan yang penuh cinta-cintaan. Menurutku sih, selain lebay bisa membuat gila sendirian.

"Kehidupan remaja?" Itu suara Mahesa.

"Angst." timpal Bayanaka.

Arjuna tertawa, anak laki-laki itu menegakkan badannya sembari melepas earphone. "Kalau mau genre angst nggak perlu repot-repot mikirin alur sama plotnya. Tanya aja sama Mahesa, ya nggak?" Mahesa menelan salivanya mendengar penuturan konyol Arjuna.

Birai terkekeh, "Bisa aja lo, Jun. Btw, serius dikit kenapa sih, penting ini."

"Lho? Yang bilang gue lagi bercanda siapa? Ucapan gue barusan itu, serius." tegasnya.

"Ar--"

"An, nggak apa-apa." ucapanku terpotong kala Mahesa tiba-tiba menahan lenganku. Arjuna memang semenyebalkan itu. Harusnya ia yang pantas mendapatkan berbagai gangguan dan bercandaan yang membuatnya tertusuk.

Mahesa lagi, apa-apa selalu mengatakan tidak apa-apa.

"Arjuna, jaga ucapan kamu." Perkataan ketusku tertuju pada sosok Arjuna. Birai reflek menoleh padaku, seakan memberitahu bahwa itu terdengar sangat sarkastik. Sekarang aku mengetahuinya, sebab mereka telah mengeluarkan sifat asli yang tak pernah kuketahui sebelumnya.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang