03. Terisak dan Terusik

453 106 10
                                    

Serius, aku terbelalak saat melihat seseorang di seberang sana. Ralat, di depan. Mengernyit, melihat sosok Mahesa yang tengah berdiri di atas balkon, sembari menggantungkan pakaian yang tampak basah.

Mahesa ... apakah ia mencuci baju? Dari yang kulihat, tubuhnya masih terbalut dengan seragam sekolah. Aku memperhatikannya sedari tadi. Sampai bibirku teras gatal jika tidak memanggil namanya.

"Mahesa?!" Memanggil nama itu dengan cukup keras, berhasil membuat ia menoleh.

Pandangan kami bertemu selama beberapa detik, namun dengan segera Mahesa memalingkan wajahnya. Kemudian--anak laki-laki itu tidak terlihat lagi.

Persis seperti di perpustakaan. Lihat, bahkan ia tidak berminat menatapku lama atau membalas sapaan atau ... ya, setidaknya tersenyum? Tidak, Mahesa sama sekali tidak melakukan itu.

"An, kamu panggilin siapa?" suara Bunda dari belakang membuatku menoleh dan berbalik badan.

"Itu, tetangga. Anak laki-laki, teman sekelas." Aku menjawab seadanya.

"Lho, kok Bunda nggak tau, ya? Kamu kenal dekat sama dia?"

Aku menggeleng pelan, "Nggak."

"Kenapa? Kan tetanggan. Masa nggak kenal dekat," ujar Bunda.

"Malas, Bun. Dia orangnya pendiam, tadi aja aku panggil nggak nyahut. Waktu ketemu di perpustakaan sekolah juga kayak gitu. Di kelas juga sama. Pantesan, aku lihat, teman-teman malas berinteraksi sama Mahesa."

"Kata Birai, anti sosial, mungkin."

Bunda mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku, membuat aku melangkah mundur untuk menghindar.

"Hush! Nggak boleh gitu. Dia kelihatan pendiam dan nggak peduli itu, pasti ada sebabnya. Coba kamu dekatin, berteman, siapa tau nanti Mahesa jadi lebih terbuka."

"Kalau dia nggak, mau?"

"Ya, berusaha, An." Bunda menghela napasnya.

Aku manggut-manggut mendengar penuturan Bunda. Meski tidak sepenuhnya paham.

"Jangan ngangguk-ngangguk aja. Ingat! Kita nggak boleh membeda-bedakan. Jangan ikutin teman-teman kamu yang jauhin Mahesa. Berteman sama siapa saja, asal nggak bawa dampak negatif."

Nah, kan ... jadi aku yang kena ceramah dari Bunda. Setelahnya, wanita itu mengajak untuk segera masuk ketika melihat langit sore yang semakin menggelap. Menuruni lima anak tangga untuk sampai di kamar. Bunda meninggalkan aku sendirian.

Itu lah, Bundaku. Rinai namanya. Tapi bukan merk kompor, ya!

Ia memang sangat pengertian, penuh dengan kasih sayang dan tidak pernah memarahiku yang benar-benar terlihat marah. Lewat nasihat baik-baik, tetapi mampu membuatku kadang tersadar akan langkah atau tindakan yang salah.

Jika dipikir-pikir lagi, ucapan Bunda ada benarnya juga. Kita tidak boleh membeda-bedakan makhluk ciptaan-Nya. Semuanya sama saja. Tetapi untuk perintah mendekati dan berteman dengan Mahesa, itu akan aku pikirkan lebih matang lagi.

Sebab, aku tiba-tiba teringat ucapan Birai kala di kantin sekolah.

"Eh, tapi ... mending lo jangan dekat-dekat dia, deh! Bahaya tau."

"Bahaya kenapa?"

"Nanti lo yang kena imbasnya."

Sampai sekarang pun, aku belum paham yang gadis itu ucapkan. Karena, ke buru Birai mengalihkan pembicaraan. Bahkan, ia juga enggan membahas tentang Mahesa. Memangnya, Mahesa punya masalah apa sih, dengan teman-teman sekelas?

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang