56. Lembar Terakhir; Mahesa Naradipta

675 87 30
                                    

"Ini bukan mimpi, An."

Kalimat itu berhasil membuat lamunanku buyar. Dersik angin menyapa, hingga membuat beberapa daunnya berjatuhan di atas tanah. Rasanya baru kemarin aku mengenal sosok itu, tetapi kenapa dengan cepatnya ia pergi.

Birai merangkulku, mengusap hingga memberikan tepukan kecil pada bahu seolah menenangkan.

Kejadian sore kemarin ... mungkin tak akan pernah ku lupakan, selamanya.

"Nggak, Rai...." meski sebisa mungkin memasang raut wajah tenang, perasaanku hancur lebur. Apalagi, ketika kedua orang tuanya, terus merapalkan nama anak lelaki itu sembari mengucap doa.

Aku masih tak percaya ini.

Orang-orang yang tadinya ikut mengantarkan ke peristirahatan terakhir, perlahan mulai memudar--satu per satu pergi meninggalkan. Ku lihat, Ibunya itu masih berjongkok di samping gundukan tanah yang baru--disertai isakan tangis, tentunya.

"Aku kehilangan anakku, lagi...."

Lirihan itu, terdengar untuk yang ketiga kalinya. Bohong jika aku tak ikut menangis, tapi sedari tadi ku tahan, membiarkannya menumpuk di pelupuk mata. Karena kalimat Mahesa kala itu; terus terngiang di kepalaku.

"Ikhlas, Tan," Hana mengusap punggung wanita itu.

Semua yang ada di sini merasakan pilunya. Tante Agni sedari tadi tak berhenti melontarkan sesuatu, mengatakan kata maaf sebanyak-banyaknya. Jika itu akan membuat Mahesa kembali, aku pun akan melakukannya. Namun sayang, hal itu tak mungkin akan terjadi.

Semuanya yang sudah pergi, biarkan pergi.

Maaf, lepaskan aku...

"Aku belum bisa," lirihan itu keluar dariku sendiri. Rasanya tangan di bahu terasa lebih berat, saat aku memalingkan wajah sosok Birai terganti dengan Bayanaka.

Lelaki itu mengulas senyum tipis, "Semuanya butuh proses. Sekarang memang belum bisa, tapi ke depannya pasti bisa. Perlahan-lahan, An. Kasihan Mahesa, dia nggak mau lihat lo sedih terus-terusan, kan? Udah ya, mungkin ini cara terbaik dari Tuhan untuk Mahesa menemukan kebahagiaannya."

Mataku terpejam sejenak, saat kembali terbuka, Tante Agni, Hana dan Pak Genta sudah beranjak bangun. Ibunya itu terlihat kacau, mereka sempat berpamitan pada kami untuk pergi duluan.

"Gantari, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih, sudah datang dan selalu ada untuk Mahesa," ujar Ayahnya, sebelum benar-benar pergi.

Aku mengangguk pelan, setelahnya tubuhku merendah untuk berjongkok, "Mahesa, semuanya menyayangimu ... termasuk Tuhan."

Hari ini aku pulang.

"Beristirahat dengan tenang, Mahesa Naradipta. Lelaki kuat yang selalu tersimpan di hatiku. Kamu nggak lagi merasakan sakit. Sampai jumpa, suatu saat nanti kita bertemu lagi. Tunggu aku, ya?"

***

Sebuah buku berada di pangkuanku saat ini. Diary yang sempat ia berikan kepadaku sore kemarin. Perlahan tanganku tergerak, membuka lembaran buku yang dipenuhi carut-marut. Salah jika kalian mengira aku sendirian, ada Bayanaka yang sedari tadi di sebelahku.

Dari pemakaman tadi, sudah kubilang sebaiknya ia kembali ke rumah sekarang juga. Tetapi Bayanaka tetap kukuh menolak dan memilih untuk menemaniku.

"Ada bahu gue untuk bersandar," ia berceletuk demikian. Bola matanya bergulir ke arahku, tatapan itu terlihat dalam, setelahnya ia menghela napas singkat, "Merelakan perginya orang tersayang memang menyakitkan dan nggak semudah itu. Gue paham apa yang lo rasa, kalau mau nangis, nangis aja, nggak apa-apa."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang