Mahesa menelan salivanya susah payah. Kemudian ia menghela napas lega, setelah memasuki area dalam rumah. Beruntung, ia tak lagi dihadang oleh Ibu seperti kemarin sore. Seragam yang melekat pada tubuhnya benar-benar basah, membuat lantai yang ia pijak menjadi becek.
Setelah sampai di kamarnya, Mahesa bergegas untuk membersihkan diri dan berganti baju. Sebelum kedua orang tuanya sampai rumah, ia kembali turun untuk mengepel lantai.
Decitan pintu terdengar, benar saja, Agni dan Genta datang. Laki-laki yang tak lain adalah Ayah-nya tampak acuh tak acuh dan langsung melenggang pergi melewatinya.
Sedangkan Agni, ia menatap putranya itu dengan kening yang mengerut. "Bagus. Sekalian nanti cuci piring. Oh iya, kalau kamu mau makan, hangatin aja makanan pagi tadi."
Lalu wanita itu melirik barang bawaan di kedua tangannya, "Ini cuma cukup buat saya dan Ayah kamu."
Mahesa terdiam, membiarkan Agni melewatinya. Ia tahu apa yang dibawa Ibu-nya. Tentu, makan yang dibeli dari luar. Mahesa tidak banyak berkomentar, tetapi jauh di lubuk hatinya ia sangat ingin.
Kenapa makanan siap santap itu hanya cukup untuk Ibu dan Ayah? Apakah mereka lupa jika di rumah ini ada dirinya?
Tidak apa-apa, sudah terbiasa.
"Hei? Kenapa diam aja? Lanjutin. Mau ditambah lagi?!" Ia reflek menoleh, melihat sang Ibu yang berdiri memperhatikannya dari atas tangga.
Terkadang, dalam benaknya Mahesa selalu bertanya; sampai segitu tak diinginkannya kah, ia lahir di dunia?
Sampai sebegitunya juga, semesta tak berpihak padanya karena ia adalah anak haram?
Memikirkan hal itu memang tak ada habisnya. Mahesa mencoba menjalani hari-hari tanpa pikiran yang membuatnya terbebani. Namun, setiap Ayah tak menghiraukannya, setiap Agni membentaknya, atau pun setiap kedua orangtuanya itu membandingkannya dengan Jayen.
Pikirkan itu pasti akan datang dengan sendirinya. Apakah sosok Mahesa terlalu lemah?
Setelah menyudahkan aktivitas mengepel lantai, anak laki-laki itu melangkah ke arah dapur, di mana wastafel beserta tumpukan piring kotor berada. Padahal di rumah ini hanya ada tiga orang, tetapi bekas tempat makannya tampak cukup banyak.
Ia menggulung baju lengan panjang yang dikenakan, kemudian memutar keran air. Selama beberapa menit Mahesa melakukan itu dengan perlahan tanpa kendala.
Prangg!!!
"Mahesa! Kenapa itu?!"
Agni keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga dengan cepat. Mahesa membeku, merasa blank seketika. Entah, kenapa tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ia memijat keningnya sendiri, sembari memejamkan mata merasakan.
"Kamu ini?! Sampai kapan sih, begini terus?! Lihat, piringnya pecah. Kamu tau nggak itu piring mahal? Kamu tau belinya pakai apa? Siapa yang cari uang?!"
"Maaf, Bu. Nggak sengaja, kepala Mahesa pusing," lirihnya.
"Jawab aja kamu!" Agni mengembuskan napas kasar. Muak dengan semuanya. Mahesa ceroboh, selalu ada salah saat menjalankan perintah Ibu-nya.
Agni menarik kasar tangan Mahesa yang sedang memijat keningnya. "Nggak usah alasan segala! Disuruh cuci piring aja nggak benar. Udah cepat lanjutin. Beresin pecahan piringnya."
"Dasar, nggak berguna." Tiga kata itu Agni ucapkan dengan samar, tetapi masih dapat di dengar jelas oleh Mahesa.
"Maaf...." pelannya, sembari memunguti pecahan piring yang berserakan. Hingga membuat ia meringis, tatkala serpihannya berhasil menciptakan jemarinya mengeluarkan cairan merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...