"Untung aja, kamu ambil. Ini tuh, earphone paling awet yang aku punya, Bay. Biasanya kan, gampang banget rusak. Terima kasih, ya!" Bayanaka melemparkan senyum tipis kepadaku.
Dikuti matanya yang menyipit, ia menyodorkan earphone kabel berwarna hitam. Ya, yang kemarin sempat aku gunakan sewaktu di bus, sepulang sekolah. Saking terburu-burunya, aku sampai tidak menyadari benda kecil jatuh.
"Ya, sama-sama. Lain kali lebih hati-hati. Coba kalau ponsel yang hilang? Bahaya, kan. Oh ya, istrihat lo mau ke mana selain ke kantin?"
Di tengah asyiknya berbincang dengan Bayanaka, aku sampai tak menyadari kedatangan Mahesa yang langsung duduk di bangkunya. Lantas menoleh, namun pandangan lelaki itu ke arah jendela. Mata kami tidak bertemu, malahan dengan Arjuna yang sedari tadi tampak memperhatikan sembari bersedekap dada.
Kedua netra tajamnya itu seperti menelik ke arahku. Tidak menghiraukan laki-laki tidak jelas yang sempat adu mulut denganku kemarin, kini kembali menghadap Bayanaka.
"Ke mana, ya ... perpustakaan mungkin?"
"Lo suka baca?" pertanyaannya terdengar antusias.
Aku mengangguk samar, "Lumayan. Tergantung bacaannya juga."
Bayanaka lagi dan lagi tersenyum, laki-laki di hadapanku ini menggaruk belakang kepalanya. "Mau nggak, ke perpustakaan, bareng? Kalau nggak mau--"
"Mau, kok! Sekalian, aku mau kembalikan buku yang sempat dipinjam dua hari yang lalu."
Bayanaka mengangkat tangan. Kedua jarinya membetuk tanda OK. Lalu laki-laki yang masih menyandang ransel di punggungnya berjalan melewatiku guna menghampiri di mana tempat duduknya berada. Ya, berdekatan dengan Mahesa.
Omong-omong tentangnya, hari ini kami sama sekali belum bertegur sapa. Aku tahu, Mahesa memang selalu seperti itu. Tapi entah kenapa, aku pun merasa ragu saat akan memanggil namanya. Bahkan, sekadar mengirim pesan juga tidak.
"An! Jadinya lo mau ikut ekskul apa, nih? Gue sih, udah mantap mau ikut basket! Gimana?"
Lagi, Birai menuturkan pertanyaan yang sama. Setelah pulang sekolah kemarin, aku juga sama sekali tidak memikirkan tawarannya. Jadilah sekarang bimbang. Dorongan dalam hati sebenarnya tidak masalah jika ingin ikut. Tapi kalau dipikir-pikir, pasti akan selalu berhadapan dengan cowok menyebalkan itu. Ah, sepertinya anganku terlalu jauh.
Mencoba tidak salah, kan?
"Ya, deh. Aku mau. Kapan?"
Birai mengalihkan pandangannya pada Arjuna yang tengah duduk di atas meja Abin, "Jun, gue sama An mau ikut basket, nih! Catat, ya. Kalau mau mulai ikut latihannya, kapan?"
Arjuna turun dan berdiri, laki-laki itu berjalan menghampiri kami. Tidak tahu maksudnya apa, namun ekor mataku sekelebat melihat Mahesa yang tampak memperhatikan.
"Lo, berdua?" Birai mengangguk kuat. "Oke. Hari ini, jam dua siang. Di lapangan utama." ujarnya, dengan nada bicara terkesan dingin.
Arjuna tidak kembali pada mejanya, melainkan keluar kelas entah ke mana. Saat menjawab pertanyaan Birai, kami sama sekali tidak berkontak mata. Mungkin, Arjuna masih merasa kesal? Persetan dengan itu. Toh, tidak merugikan juga.
"Serius lo beneran ikut, Bir?! Nanti nyampe nggak loncat buat masukin bola basket ke ring-nya?" tanya Tranggana setengah meledek. Laki-laki itu tertawa, sembari kembali pada tempat duduknya.
"Yee! Dibilang mending lo ikut klub jurnalistik, Bir! Asli, seru parah." timpal Kalingga.
"Sok tempe, lo! Gue tanya, memang lo ikut klub jurnalistik? Nggak, kan?" Kalingga dengan polosnya menggeleng. Aku lihat Birai menggulung buku paket dan mengangkatnya, seperti siap akan melempar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...