32. Arjuna dan Aktingnya

253 69 10
                                    

"Udahlah, biarin aja. Lagian dia cuma jadi kurcaci, udah gitu kurcaci ke tujuh. Terserah. Peran lo di sini nggak penting-penting amat," ujar Arjuna, sembari membereskan alat tulisnya.

Sedari tadi, aku mendengarkan. Di siang ini, sekolah sudah selesai, kami akan melakukan latihan di aula untuk pentas seni nanti sebelum ujian semester. Namun ternyata, Mahesa tiba-tiba mengatakan, bahwa ia tidak bisa ikut.

Lelaki itu merunduk, sampai hari ini pun kami tidak sedekat hari-hari sebelumnya. Saat kemarin juga, aku hanya mengantarnya ke UKS tanpa menemani.

"Memangnya kamu mau ke mana?"

Mahesa menoleh padaku dan menjawab, "Hari ini ada jadwal les. Maaf ... kalau kalian mau cari pengganti, nggak apa-apa."

Birai menepuk keningnya sendiri, "Hadeh! Gimana sih, lo?"

"Udah, nggak apa-apa. Ini latihan pertama, kan? Siapa tahu, nanti pas latihan ke dua bisa ikut. Kita bisa mulai tanpa Mahesa, dan ... jangan cari penggantinya. Mahesa ada untuk melengkapi."

Tidak. Itu bukan suaraku. Melainkan suara cowok berkacamata, Bayanaka. Lelaki itu melirik satu per satu dari kami sebagai satu kelompok yang akan memegang peran masing-masing.

Bayanaka selalu menjadi penengah di antara kami. Dengan segala ucapan tenangnya, Bayanaka mampu membuat suasana menjadi lebih baik. Sekali lagi, tidak seperti anak laki-laki yang barusan berkata bahwa peran Mahesa di sini, tidak terlalu penting.

Mahesa ada untuk melengkapi.

Semuanya keluar kelas duluan, terkecuali aku, yang masih melihat Mahesa berdiri dengan tatapan kosong merunduk. Dari atas sampai ujung sepatunya kuperhatikan, kami benar-benar ... berbeda untuk beberapa saat ini.

Aku menghela napas, berbalik badan guna menyusul yang lain di aula. Tetapi suara dari belakang menginterupsi, membuatku terpaksa kembali menghadap, lelaki yang sedikit lebih tinggi dariku.

Mahesa mendekat, kedua tangan yang tadinya memegangi tali ransel, kini turun dan terangkat. Aku tersentak kecil, tatkala tangan kasarnya yang lumayan besar itu memegang bahu kananku.

"An, aku ada salah?"

Mengapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu? Tentu saja aku menggeleng sebagai jawaban.

"Bohong. Apa salah aku?"

Membuang napas sejenak, lalu menjawabnya dengan cepat, "Nggak ada."

Kedua alisnya hampir bertaut, tangan kanannya yang memegang satu bahuku masih dalam posisi yang sama. Namun ada yang berubah, langkahnya maju lebih dekat.

Kaki kiri-ku melangkah mundur ke belakang, tetapi Mahesa menahannya dengan sedikit mencengkeram pegangan pada bahu. Dia ini kenapa?

"Ng-gak. Aku bilang nggak, ya berarti memang nggak ada!"

Tangannya turun, wajahnya merunduk sejenak sebelum akhirnya mendongak lagi guna menatap wajahku. Iris manik hitam lekatnya menunjukkan tatapan dalam yang cukup sulit untuk diartikan.

"Kamu, berubah." Begitu katanya.

Tentu saja aku menepis ucapan asal tersebut. Berubah dari segi mana-nya? Aku tetap Gantari. Gantari Akara, si Sinar yang selalu ada untuk Bayangnya, kata Bunda.

"Apa? Apa yang berubah dari aku?"

Mahesa bergeming tak menjawab, lagi.

"Nggak ada, kan? Yaudah, sama seperti salah kamu ke aku. Nggak ada."

"Tapi kamu berubah." Mahesa mengulang ucapannya.

Sebisa mungkin aku menahan. Mencoba sabar, lebih banyak lagi. Benar-benar tidak paham apa yang sedang dibicarakan olehnya sekarang. Mahesa bilang aku berubah? Dari mana ... aku masih tetap Gantari. Tidak berubah menjadi Karina æspa.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang