39. Gantari dan Akara-nya

198 70 3
                                    

"Nyusahin. Gue bawa teman, nanti dia pulangnya sama siapa? Ck! Iya-iya, sebentar lagi, sabar."

Aku mendelik pada Bayanaka di sebelah sana, yang tengah berdiri seraya berbincang lewat sambungan telepon. Sudah menunjukkan pukul 21.15, kami masih ada di tempat yang sama dengan beberapa barang belanjaan. Bukan hanya aku dan Bayanaka, tapi ada satu orang lagi yang ikut-ikutan.

Lelaki itu kembali menghampiriku, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku sebelum akhirnya melontarkan sesuatu, "An, maaf banget. Lo pulang sama Arjuna aja, ya? Gue--"

Bukan cuma kedua bola mataku yang membulat, Arjuna pun hampir tersedak ketika sedang menyesap minumannya. Mengapa tiba-tiba Bayanaka mengatakan seperti itu?

"Ck! Apaan? Nggak-nggak. Gue mau pulang sekarang," Arjuna bahkan hendak bangkit dari duduknya.

Bayanaka menghela napas panjang, "Jun, tolong, lah. Gue harus pulang sama sepupu gue, nanti An gimana?" Aku bergeming, menyaksikan keduanya.

"Lah? Suruh sepupu lo pesen ojol aja kali." tukas Arjuna.

"Udah malam. Udah gue tawarin juga, tetap nggak mau. Dia maunya sama gue. Orangnya udah nunggu," ia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Sekali lagi, netraku dan netra Bayanaka bertemu selama beberapa detik. Sebelum akhirnya ia melangkah mundur, melirik motornya yang terparkir.

Bayanaka kembali menoleh pada Arjuna--kemudian menepuk satu bahunya. Belum sempat terlontar, namun aku tahu harus menjawab lebih dulu.

"Nggak apa-apa, aku pulang sendiri aja. Belum terlalu larut, masih bisa naik ojek online."

Bayanaka menggelengkan kepalanya, "Jangan. Ini udah malam, lo perempuan.  Maksudnya, tetap aja gue khawatir sebagai teman. Gue yang bawa lo ke sini, masa pulangnya nggak sama gue lagi."

"Lo tunggu sini sebentar, oke? Nanti gue balik lagi antar lo pulang."

"Bayanaka--" ucapanku disela cepat oleh  Arjuna.

"Udah, udah, ribet lo berdua! Gantari, lo biar gue antar. Kasihan Bayanaka kalau bolak-balik, dikira jaraknya nggak jauh. Ayo!"

Arjuna mendengkus samar. Lelaki itu menatapku dengan tajam, lalu berdecak samar. Untuk beberapa detik aku bergeming, sebelum akhirnya beranjak bangun dari duduk, ketika Bayanaka mengambil alih beberapa paperbag di tanganku.

"Yang ini lo bawa pulang," katanya, tanpa mengambil satu paperbag berisi kue ukuran sedang yang memang, aku yang memilih. "Tanda terima kasih, dan maaf. Jaketnya lo pakai aja, nggak apa-apa."

"Jun, antar pulang beneran. Jangan diturunin di tengah jalan," ujar Bayanaka pada Arjuna.

Lelaki itu menanggapi sembari tertawa pelan, "Ya, paling gue turunin depan pemakaman sih. Udah buruan, udah malam nih, makin dingin kayak mau hujan. Mau lo hujan-hujanan?"

"Nggak! Bayanaka, aku duluan. Kamu juga hati-hati, besok jaketnya aku kembalikan." Ia melemparkan senyum tipis padaku.

Kemudian, kami bertiga sama-sama melangkahkan kaki keluar dari dalam kafe yang cukup ramai pengunjung saat ini. Aku, Arjuna dan Bayanaka yang sudah melesat dengan motornya ke arah yang berbeda.

Selama di perjalanan, entah sudah beberapa kali aku menahan pegangan lebih erat di belakang. Sebab, Arjuna menancap gas tanpa memikirkan bahwa ia sedang membawa seseorang saat ini. Sama persis, seperti saat pulang sekolah bersama Birai.

"Arjuna! Kamu bisa bawa motor nggak, sih?!"

"Bisa, lah! Waktu itu kan, lo juga pernah gue bonceng. Udah diam aja! Mau cepat sampai nggak?!"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang