49. Kenyataan Pahit

262 71 12
                                    

Mataku hampir terbelalak ketika membaca kalimat di nomor lima yang ditulis oleh Bayanaka. Sedangkan lelaki itu sendiri, memasang raut wajah datar seolah tidak ada yang salah. Setelahnya Bayanaka menyesap minumannya--kemudian terkekeh sembari menarik kembali kertas yang ia sodorkan.

Lelaki itu mengambil tip-x, kemudian mencoret tulisan paling bawah, "Bercanda, An. Gue bingung mau kasih pertanyaan apa lagi. Tapi kalau boleh ... ya, oke. By the way, gue senang bisa berteman sama lo. Mungkin bukan cuma gue, siapa pun yang kenal dekat dengan lo, pasti merasakan hal yang sama juga."

Aku bungkam, bingung harus menanggapi penuturannya dengan apa. Hanya mengangguk ragu. Bayanaka terdengar menghela napasnya, "Maaf, An."

"Ng-nggak apa-apa. Nggak usah minta maaf," balasku.

"Tapi kalau benar, gimana?"

"Benar ... apanya?"

"Gue, boleh nggak suka sama lo?"

Bayanaka, ia berhasil membuatku sulit menghirup oksigen. Kedua netra itu menatapku dengan memicing, alisnya agak mengenyit dan sudut bibirnya sedikit terangkat. Pertanyaannya itu kubiarkan, hingga lelaki tersebut bersuara lagi.

"Lupain, lupain. Oh, ya? Lo nggak bawa earphone?" Akhrinya, ia melontarkan pertanyaan yang berbeda.

Aku menggeleng, karena memang tidak membawanya.

Bayanaka manggut-manggut, lalu merogoh ranselnya sendiri. Mengeluarkan sesuatu dan lagi-lagi menyodorkannya padaku, "Kalau lo mau pakai. Masih baru, tapi nggak pernah gue buka sekalipun."

Sebuah earphone, "Nggak usah."

Ia memancarkan senyumnya dan mengangguk. Kemudian setelah itu, kami benar-benar melakukan hal seperti yang sudah direncanakan. Bayanaka banyak menjelaskan beberapa materi dan kami juga saling bertanya. Entah sudah ke berapa kali aku mengatakan, aku pernah salah menyangka bawa Bayanaka adalah sosok yang pendiam.

Namun kenyataan ia sangat asik untuk diajak berbincang. Apalagi, soal pelajaran seperti sekarang.

Hampir satu jam setengah kami menghabiskan waktu di tempat ini, hingga sorot matahari sudah mulai menjadi warna kejinggaan. Pukul setengah lima sore, aku dan Bayanaka sama-sama merapikan barang bawaan.

Setelah membayar apa yang kami pesan, aku berjalan bersamanya dengan langkah sejajar.

Beberapa detik kemudian, Bayanaka melontarkan pertanyaan, "Kenapa ikan nggak pernah kembung, padahal di dalam air terus?" tanyanya, dengan terkekeh pelan.

"Serius kamu tanya itu? Kamu sendiri pasti tahu kan, jawabannya," sanggahku.

Bayanaka malah tertawa, "Ya, karena ikan bernapas dengan insang, di mana insangnya itu untuk mengatur kadar air di dalam tubuhnya. Itu pertanyaan konyol sepupu gue, udah dijelasin gitu, masih tetap nanya. Terlalu bodoh ya, pertanyaannya?"

Hal itu berhasil membuatku terkekeh pelan. Langkah kami semakin dekat menuju motornya.

"Menurut lo, yang duluan itu ayam atau telur?"

Aku menghela, "Udah berapa kali dapat pertanyaan seperti itu, tapi...."

Bayanaka mengernyitkan alisnya.

"Bingung."

Ia menghentikan langkah, membuatku juga reflek ikut berhenti. Lalu, Bayanaka mengulurkan telapak tangannya, "Pegangan."

Hah?

"Kalau bingung, pegangan." katanya, dengan nada bergurau.

Tangan kananku sudah terangkat untuk menepis itu. Tetapi Bayanaka lebih dulu menjatuhkannya ke dalam saku celana dan merogoh sesuatu, "Sebentar, ya." Tampaknya benda pipih milik lelaki itu berdering.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang