"Gue duduk di sebelah lo, boleh?"
Aku mengangguk meski canggung. Bayanaka sudah berhasil menempati bangku kosong di sebelah. Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan gusar--beralih menyugar rambut hingga menyandarkan punggungnya sembari mengehela napas. Bukankah ia sudah pulang duluan dengar motornya? Ah, sepertinya aku yang salah lihat.
Kami tak membuka obrolan selama beberapa menit. Dari setelah Bayanaka duduk aku memilih untuk memasang earphone di kedua telinga. Suara penyiar podcast terkenal menyeruak dalam rungu.
"Sebenarnya, dia yang tidak peka atau kamu yang terlalu berharap?"
"Ya, semua orang berhak untuk berharap. Tapi, kalau harapnya hanya angan dan cepat hirap, lebih baik coba untuk hapus daripada semakin lama semakin banyak tumbuh harapan baru."
"Hahaha! Dasar. Pantas saja gampamg kecewa. Ekspektasinya terlalu tinggi, makanya jatuh dan sakit karena realitanya tak sepadan dengan angan yang terkumpul dalam benak."
"Gantari?" panggilan dengan suara berat dari Bayanaka, mampu menjadikan reflekku melepas sambungan dari telinga.
"Maaf, maaf. Ganggu, ya? Sorry, lanjut dengar aja nggak apa-apa," ujarnya.
"Mending dengar kamu bicara aja. Kenapa?" tanyaku dengan sengaja. "Oh, ya. Bukannya kamu pulang duluan? Apa aku salah lihat? Naik motor warna hitam, kan?" Bisa-bisanya aku hapal.
Bayanaka mengangguk antusias, "Iya, gue memang udah pulang duluan. Sempat lihat lo sama Birai di parkiran. Tapi, tiba-tiba di pertengahan jalan ban motor bocor." katanya seraya menghela pasrah.
"Beruntung, ada bengkel di depan walaupun sempat dorong sampai seratus meter. Awalnya, oke-oke aja gue tunggu. Tapi tiba-tiba Mama telepon katanya ada saudara jauh datang dan harus cepat pulang. Niatnya, mau pesan ojek, tapi cuacanya mendung. Percuma nanti kehujanan. Pas, bus lewat. Jadi ... ya sekarang. Panjang ya, ceritanya?"
Bayanaka terkekeh, dan ini adalah pertama kalinya yang kulihat. Sebab jika di kelas, ia selalu dengan gaya dinginnya dan irit bicara kalau bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru di depan.
"Ketawa?"
Berhenti. Keningnya mengernyit, "Eh, aneh, ya?" Bayanaka mengusap tengkuknya.
Aku menggeleng dengan senyuman tipis, "Nggak. Cuma, ya ... nggak seperti biasa. Di kelas atau di kantin, aku jarang lihat kamu ketawa."
"Iya, soalnya nggak ada yang lucu juga."
"Salut, sih. Kamu bahkan juga nggak ikut terbahak saat Arjuna, Tranggana dan Kalingga tertawa karena ulahnya ke Mahesa."
"Yang jadi pertanyaan, seenggaknya kalau kamu nggak seperti mereka, kenapa tetap diam?"
Sudut bibir Bayanaka terangkat, ia bergeming sepersekian detik sebelum akhirnya membuka mulut untuk bicara. Tapi, keadaan tak mendukung. Alias aku segera pamit untuk turun duluan.
"Hati-hati, An."
***
Laki-laki itu sama sekali tak mengidahkan beberapa temannya yang sedang berbincang sambil berjalan dengan langkah santai. Mahesa melangkahkan kakinya dengan arah yang berbeda, dari Gantari, Birai, Bayanaka dan Arjuna. Semenjak istirahat pertama sampai pulang sekolah saat ini, masih ada sesuatu yang berbeda dari Mahesa.
Ia sempat mengayunkan langkah pelan. Harap namanya akan dipanggil memang benar terjadi, tetapi tampaknya Mahesa sama sekali enggan menoleh. Bahkan, memilih untuk mempercepat derap.
Mereka berempat sama sekali tidak mengajaknya bicara. Tak terkecuali si yang katanya sahabat. Meski begitu, Mahesa juga merasa malas untuk sekadar membalas obrolan Gantari.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...