38. Hari Buruk

222 68 10
                                    

"Gantari, kamu dengar apa yang aku bilang barusan?"

"Aku pakai earphone."

Saat itu juga, Mahesa mencabut benda yang menyumpal di kedua telingaku. Alhasil, langkah kami berhenti, Mahesa menghalangi jalan, sebab ia berpindah posisi menjadi berdiri di depan menghadap ke arahku.

Menghela napas panjang, aku mengangkat alis bertanya kenapa. Apa yang dikatakannya barusan memang terdengar, namun untuk kali ini, tidak ku simak baik-baik. Alunan melodi dari ponselku lebih baik didengar daripada omongannya.

"An, aku tanya sekali lagi, kamu kenapa?" Ia menatapku begitu serius.

Aku mengedikkan bahu, "Kamu lihat ada luka nggak di tanganku, kaki atau wajah?" Aku sampai menunjuk wajahku sendiri.

Mahesa menggeleng.

"Ya artinya, aku nggak kenapa-kenapa."

"Bahkan, semenjak istirahat dan latihan di aula kamu menjauh, An." katanya. Iya, katanya aku yang menjauh? Ck, ingin sekali aku tertawa seperti Bayanaka di depannya.

Menoleh ke arah lain, aku membalas, "Iya, ya? Aku kira, kamu yang menjauh karena terlalu sibuk sama Hana. Ternyata aku ya, yang salah."

Baik. Hilangkan kata perempuan tak pernah salah mulai saat ini.

"Bukan itu maksudku," ujarnya. Ku dengar ia menghela napas gusar. Lagi-lagi yang membuatku terkejut, Mahesa memegang kedua bahuku lagi, agar menghadap ke arahnya. "A-aku, aku yang salah. Maaf."

Segera aku menepis paksa kedua tangannya agar turun. Mulutku terkatup, ingin melontarkan sesuatu tetapi rasanya susah karena tercekat. Kedua netra lelaki itu tampak sendu, Mahesa masih memandangku tanpa berkedip sekali pun.

"Maaf, An--"

"Cukup. Nggak perlu minta maaf. Aku paham. Aku nggak berhak melarang kamu mau dekat dengan siapa pun itu, termasuk Hanasta."

"Tapi karena aku dekat dengan Hana, kamu menjauh." jawabnya.

Aku membalasnya lagi dengan satu tarikan napas, "Bukan menjauh, tapi nggak mau menganggu."

Setelahnya, aku kembali melanjutkan langkah lebih dulu dari Mahesa. Kami sudah memasuki area komplek, waktu yang sudah sore dan langit yang semakin menunjukkan jingganya, makin membuatku mempercepat langkah.

Tak lagi berjalan sejajar dengan Mahesa, kami kembali terdiam sama seperti sebelum drama barusan dimulai.

Rumahku semakin dekat, dari jarak lima belas meter, aku melihat dua orang wanita berdiri di depan gerbang rumah. Satu yang sangat ku hapal, itu adalah Bunda Rinai. Dan satunya, lagi....

"Gantari, kamu nggak buka ponsel? Bunda udah telepon bahkan kirim pesan beberapa kali."

Menelan saliva, aku menggeleng pelan dan beralih melirik si pemilik rumah sebelah. Menoleh ke belakang sejenak, kulihat Mahesa sudah merundukkan kepalanya. Yang ada di depanku sekarang bukan hanya Bunda, tetapi juga dengan Ibu-nya Mahesa.

"Ponsel aku habis baterai."

"Kamu ajak main ke mana Mahesa sampai bolos les-nya?" Aku lantas mendongak akan pertanyaan itu. Bunda menghela napas, menatapku seolah mendorongku untuk menjawab.

"Aku? Aku sama sekali nggak ajak main ke mana-mana. Kami berdua memang baru pulang sekolah, karena latihan dulu untuk pentas seni nanti."

"Pasti kamu juga kan, yang paksa Mahesa untuk ikut latihan dan bolos dari les-nya?" Aku menggeleng keras, bergeser mendekat pada Bundaku.

Wanita berambut sebahu itu mengerutkan kening, "Benar kan, Mahesa? Kamu dipaksa bolos les sama dia? Bahkan, kamu lebih menuruti apa mau Gantari, daripada turuti ucapan Ibu?"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang