15. Arjuna Gautama

309 90 8
                                    

Sedari masuk kelas sampai bel istirahat berdering, yang kulihat Mahesa masih saja tampak tak banyak tingkah. Ah, setiap harinya memang seperti itu, sih. Tapi untuk hari ini terlihat ada yang berbeda dari air mukanya.

Anak laki-laki itu masih duduk di bangkunya. Sedangkan teman-teman satu per satu mulai meninggalkan. Berbondong-bondong keluar untuk menuju kantin, yang sebentar lagi akan ramai.

Birai sudah berdiri duluan, ia menepuk meja membuat perhatianku teralihkan. "Eh, An! Ayo? Katanya mau jajan banyak hari ini?" Begitu kata Birai. Dan itu memang benar. Bunda dan Ayah baru saja pulang pagi tadi. Tentu, aku diberikan uang saku lebih sekarang.

"Kamu duluan aja, nanti aku nyusul. Pesan makanan yang kamu mau, aku yang bayar. Asal jangan lebih dari tiga puluh ribu," ujarku yang langsung diacungi dua jempol dari Birai. Kemudian, gadis itu keluar dari meja, berjalan dengan langkah cepat keluar kelas.

Perlahan mulai sepi, kembali menoleh ke belakang di mana Mahesa berada. Ku kira hanya ada kami berdua, ternyata juga ada Bayanaka yang masih berkutat dengan bukunya. Anak itu duduk tak jauh dari bangku Mahesa.

"Oh iya, aku lupa. Padahal, pagi tadi niatku mau balikin hoodie semalam, tapi nggak kesampaian. Hm, mungkin nanti, habis pulang sekolah. Omong-omong, kamu masih mau di kelas?" Pertanyaanku membuat Bayanaka ikut menoleh walau sekilas.

Mahesa mengangguk pelan.

"Ke kantin, yuk? Makanannya kan, enak-enak. Memangnya kamu nggak lapar?"

Ia menjawab dengan satu tarikan napas, "Nggak. Kamu aja, An." Matanya berkedip setiap kali berucap.

"Kenapa? Aku yang traktir, deh. Semalam kamu bilang kita ini ... tapi kamu sendiri nggak mau temenin aku."

"Maaf. Kamu bisa pergi sekarang?"

"Maksudnya?"

"Tinggalin. Aku lagi pengin sendiri."

Penuturannya membuatku bergeming selama beberapa detik. Bahkan, saat Bayanaka melewati kami dan menyapa, tak kuhiraukan. Bayanaka mengusap belakang tengkuknya dan berjalan menyusul teman-teman lain di luar kelas. Dan sekarang, ruangan ini hanya berisikan aku dan Mahesa.

"Kenapa? Kan--"

"An, kamu dengar, 'kan, aku bilang apa?"

"Ya, dengar. Tapi kenapa--"

"Tinggalin aku, An. Aku lagi pengin sendiri."

Ia kembali mengulang ucapannya beberapa waktu barusan. Namun untuk yang kedua kali, nada bicaranya terdengar dengan penuh penekanan.

Netra kami lagi-lagi bertemu. Sorot mata Mahesa begitu dalam ketika menatap. Manik hitamnya seolah menandakan sesuatu yang entah tidak ku ketahui. Mengehela napas panjang, sebelum akhirnya menyanggupi apa yang Mahesa katakan.

"Oke, kalau itu mau kamu. Aku pergi." Anak laki-laki itu pun ikut mengehela, dengan memejamkan mata sepersekian detik. Walau berat, menelan saliva susah payah. Kubawa langkah kaki berbalik badan untuk menjauh dari sosoknya.

Ck! Drama.

Dari luar kelas, aku melihat Mahesa di balik jendela. Ia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sudah beberapa kali ku katakan. Mahesa itu orang yang susah ditebak! Sikapnya juga selalu berubah-ubah.

Kala itu, ia sangat begitu kaku, formal dan pendiam. Seakan cuek pada apa yang orang-orang katakan, namun sepertinya berbeda dengan apa yang dirasa dalam hatinya.

Kemarin malam, yang kurasa Mahesa terasa begitu hangat. Banyak sekali lontaran kata yang terucap, sesekali membuatku menggeleng tak percaya atau bahkan membuat jantung berdegup lebih cepat.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang