Di dalam kamar, Nayla masih saja menangis. Ananta selalu setia menemani istrinya itu.
"Udah, Nay. Jangan nangis terus." Ananta mengusap punggung istrinya.
"Kenapa jadi gini, Mas?"
"Ini bukan salah kamu. Jangan terlalu merasa bersalah." Ananta mengelus punggung Nayla.
"Tapi, Mas ...."
"Ingat kondisi kamu. Di dalam perut kamu ada anak kita."
Nayla tersadar dan mengusap perutnya pelan. Ananta membawa Nayla masuk ke dalam pelukannya.
***
Sementara itu di dalam kamar Bisma ....
Bisma melepas seragam pelautnya, ia melempar kemeja itu ke kasur. Ia melihat kamar yang sudah ditinggalkannya selama lima tahun. Kamarnya bersama Nayla dulu.
Kini wanita itu telah berpindah ke kamar sebelah, ke kamar abangnya.
Dasar wanita sialan ....
Pasti sekarang mereka sedang bersenang-senang. Membayangkan itu hati Bisma jadi mendidih. Ia berjalan ke kamar mandi hanya menggunakan celana saja. Tampak otot bisepnya yang tercetak sempurna.
Di bawah guyuran shower ia membayangkan apa yang terjadi dalam hidupnya selama delapan tahun ini.
Setelah mandi, tubuh Bisma terasa agak segar. Ia mengerutkan dahi melihat adik bungsunya, Gendis, sedang membongkar kopernya.
"Nyari apa?"
"Eh, Abang." Gendis membalikkan tubuhnya sembari cengengesan.
"Jangan sembarang masuk kamar cowok." Bisma berjalan ke lemari untuk mengambil kaosnya yang tertinggal di rumah ini.
Gendis adalah adik bungsu Ananta dan Bisma, usianya masih belasan, gadis SMU itu adalah anak kesayangan di rumah ini. Selain karena dia bungsu, juga satu-satunya anak perempuan.
"Bang, ini buat gue, ya?" Gendis mengambil sebuah box berisi ponsel keluaran terbaru. Yang memang sudah disiapkan Bisma sebagai oleh-oleh untuk adik perempuannya itu.
"Suka?"
"Suka banget, Abang tau aja selera Gendis." Gendis bergelayut manja di lengan abangnya. Kemudian tangannya beralih menunjuk sebuah sweater dan kaos.
"Ini buat papa?"
Bisma mengangguk, "Ntar lo kasih, ya?"
"Lo marah sama papa?" tanya Gendis, Bisma tak menjawab.
"Kaosnya lo bakar aja." Bisma melempar sebuah kaos bertuliskan Vienna. Itu dibelinya untuk Ananta, saat kapalnya bersandar di Austria.
"Sayang banget, buat gue aja, ya?" Gendis mengedipkan matanya.
"Terserah." Bisma berjalan ke kasur dan merebahkan dirinya di sana. Ia rindu tempat tidurnya. Bertahun-tahun tidur terombang-ambing di tengah lautan, kini ia bisa tidur nyaman di rumahnya.
"Ini juga, ya?" Gendis menunjuk sebuah gaun indah berwarna peace, yang sedianya dibeli Bisma untuk istri, yang kini bukan istrinya lagi.
"Yang itu jangan, mau gue bakar soalnya."
"Apaan, sih. Mubazir tau, masa dibeli untuk dibakar. Kalau mau bakar, tuh sampah di depan." Gendis menempelkan baju itu ke tubuhnya. Agak kepanjangan.
"Gue bilang jangan!" Bisma merebut baju itu dan memasukkannya ke lemari.
"Pasti buat istri lo, ya?" Gendis melirik kamar sebelah.
"Dia sekarang bukan istri gue lagi, dia udah jadi istrinya Ananta," kata Bisma dingin.
Gendis menghela nafas, ia tau persoalan rumit diantara kedua abangnya. Ia bingung harus memihak siapa, ia sayang keduanya.
"Bang, sebenarnya bang Anta nggak salah tau." Gendis duduk di samping Bisma.
Bisma hanya diam, tak menanggapi perkataan adiknya.
"Pas lo pergi, mbak Nayla kacau banget. Sampai dia sakit tau."
Bisma masih diam ....
"Dia sakit selama dua bulan, mikirin lo terus. Tega banget lo, waktu itu gue sampai ikutan benci sama lo. Papa sama bang Anta udah nyari lo ke mana-mana. Sampai pasang iklan di koran."
Bisma hanya diam mendengarkan cerita adiknya.
"Biar kata lo nggak cinta sama mbak Nayla, tapi jangan siksa anak orang juga, dong."
"Tahun lalu, mama papa sepakat buat nyari jodoh buat mbak Nayla. Katanya nggak usah nungguin lo lagi. Mungkin lo udah mati, kan nggak ada yang tau. Elo sih nggak ada kabar. Nggak mungkin 'kan mbak Nayla merana seumur hidup gara-gara nungguin elo."
"Dia masih muda, cantik lagi. Mubazir kalau nggak nikah lagi. Tapi dia nolak, waktu mama papa ngenalin beberapa cowok buat dia."
"Katanya dia trauma mau nikah lagi."
Bisma sedikit merasa bersalah setelah mendengat cerita adiknya.
"Terus bang Anta bilang, biar dia aja yang nikahin mbak Nayla ...."
"Terus dia langsung mau?" Untuk pertama kalinya Bisma menyela cerita adiknya.
"Nggak. Katanya aneh. Masa mau menikah sama abang ipar sendiri."
"Tapi mama papa maksa, katanya kepingin liat mbak Nayla hidup bahagia. Mama papa mbak Nayla juga setuju."
"Bulan apa mereka nikah?" tanya Bisma.
"Desember."
Bagus, saat kapalnya ditawan oleh perompak Somalia dalam ekspedisi ke Pantai Gading, istrinya malah enak-enakan bulan madu bersama kakaknya.
"Sekarang gue udah balik, gue mau istri gue kembali."
"Ish, mana bisa gitu. Barang yang sudah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan." Gendis memukul bahu abangnya.
"Mana dia belum sempat gue apa-apain." Bisma merasa kesal setengah mati.
"Nyesel 'kan lo? Makanya punya istri itu jangan disia-siakan. Sekarang mbak Nayla udah bahagia sama mas Anta. Jangan ganggu lagi." Gendis mengelus punggung abangnya.
Bisma menyingkirkan tangan Gendis, "Nggak bisa, gue masih suami sah dia. Gue mau ambil dia lagi."
"Ish, udah dibilang nggak bisa." Gendis memutar bola mata. Abanganya ini, umur boleh tua, nama Bisma pula, tapi nggak ada bijaksananya sama sekali.
"Kenapa nggak bisa, hah?"
"Mbak Nayla udah hamil."
***
Kalau di cerita wayang (Mahabharata ANTV) sosok Bisma digambarkan bijaksana, Gaes. Kalau yang ini mah, bijaksitu kali.😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Sengketa
Romance"Sekarang gue udah pulang, balikin istri gue." Bisma menatap kakaknya datar. Ananta hanya tersenyum pelan, adiknya ini masih saja kekanakan. Kalau dulu ia bisa saja mengalah jika Bisma merebut mainannya. Tapi sekarang ... Tidak lagi. Nayla bukanlah...