50

6.6K 577 12
                                    

Hari terakhir di pulau seribu, Nayla dan Bisma pergi ke pantai berdua saja. Gendis dan Nathan sedang pergi bersama Hana. Kemarin Hana datang menyusul mereka.

"Akhirnya bisa quality time berdua ya, Ma?" Bisma bersandar di bahu Nayla. Sekarang mereka sedang duduk-duduk di pasir sambil melihat ombak.

"Papa nggak senang, kalau Nathan ikut sama kita?" tanya Nayla dengan wajah khawatir.

"Nggak gitu, Ma. Bukan Nathan, tapi Gendis. Dari kemarin itu anak bikin masalah terus. Kalau Nathan sih manis, nurut." Bisma tersenyum manja. Sambil mempermainkan tangan Nayla. Sesekali menciumnya.

"Nggak nyangka, kalau akan ada hari seperti ini dalam hidup Mama." Nayla berkata dengan penuh keharuan.

Matanya menerawang melihat laut. Teringat saat-saat terpuruk saat ditinggal Bisma.

"Iyalah, Ma. Masa kisah kita sedih terus."

Nayla mengelus kepala Bisma yang bersandar di bahunya. Kebalik ini sih, seharusnya yang bersandar itu ceweknya.

"Mama bahagia?" Bisma mendongak.

"Alhamdulillah, makasih ya, Pa." Nayla berkata tulus.

"Papa yang makasih. Makasih udah mau maafin Papa. Makasih juga udah mau nerima Papa apa adanya, bukan ada apanya."

"Sama-sama. Makasih udah mau nerima Mama dan udah sayang sama Nathan." Nayla mengelus paha Bisma.

"Nathan anak yang manis. Gampang banget buat dicintai." Bisma sudah merasa sayang kepada anak itu sejak pertama berjumpa.

"Papa beneran nggak mau berlayar lagi?"

"Nggak, Ma. Papa udah mikir. Mau nyari kerjaan lain aja. Yang bisa pulang tiap hari."

"Kerja apa 'tuh? Jualan cilok? Somai? Apa tahu bulat?" Nayla menggoda Bisma.

"Kalau Papa yang jual, pasti cewek-cewek pada ngantri. Emang Mama nggak cemburu?" Bisma mencolek dagu Nayla.

"Nggak. Yang penting mereka pada beli." Nayla tersenyum nakal.

"Kalau Papa jual mah setengah hari juga udah habis."

"Papa pakai pesugihan?"

"Nggak, Papa gadoin sendiri." Bisma nyengir.

"Papa jangan nyengir."

"Kenapa? Damage-nya nggak kuat, ya?" Bisma bertanya dengan penuh percaya diri.

"Bukan, gigi Papa ada cabenya." Nayla tersenyum lagi.

"Mama bohong. Orang Papa tadi sarapan roti. Mama nakal banget, sih? Bikin gemes aja." Bisma mencubit pipi Nayla.

"Kalau gemes, sawer dong." Nayla malah meladeni keabsurdan suaminya.

"Mama tinggal pilih, mau disawer pakai apa. Ada bitcoin, dollar, apa poundsterling?" Bisma sesumbar.

"Sawer pakai hati Papa aja."

"Yakin? Hati Papa pait, Ma. Banyak kolesterolnya."

Kedua anak manusia itu asyik bergombal, tanpa mereka sadari sandal Nayla hanyut sebelah.

"Pa, dari kemarin Nathan rewel terus, minta adik." Nayla menceritakan dengan wajah bersungguh-sungguh.

"Kan udah dibeliin, tiga biji." Tempo hari Bisma dan Nayla sudah membelikan adik untuk Nathan, terdiri dari boneka Pororo, Keropi, Piglet. Setiap malam Nathan tidur dengan ketiga adiknya itu.

"Katanya mau adek yang bisa nangis."

Baiklah, besok gue mau nyari boneka yang bisa menangis, kalau perlu yang bisa boker sekalian.

"Pasti kerjaan Gendis sama Mama. Memang dua orang itu pengahasut."

Bisma berjanji setelah ini ia akan memperingatkan kedua orang itu agar jangan bicara yang tidak-tidak pada anaknya.

"Kalau tahun depan kayaknya udah bisa, Pa." Nayla berkata malu-malu. Senyum Bisma mengembang.

"Udah bisa dipanen?"

"Ih, Papa. Memangnya singkong?" Nayla mencubit pinggang Bisma.

"Maksudnya panen hasil 'investasi' kita."

"Kalau jadi Papa mau cowok apa cewek?" tanya Nayla.

Maunya sih kembar cewek, tapi Bisma takut tak bisa membedakan anaknya.

"Apa aja, yang penting Mama lahiran lancar. Tanpa kurang suatu apapun." Bisma tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Nayla.

"Mama jadi penasaran, kenapa Papa pingin jadi pelaut?"

"Karena nenek moyangku seorang pelaut."

Nayla merajuk, karena Bisma tak mau jujur.

"Em, itu karena waktu kecil Papa abis lihat Titanic." Bisma menjawab malu-malu, teringat akan kekonyolan masa kecilnya.

Sebenarnya ia ingin menjadi pelaut karena membaca cerita petualangan harta karun di perpus SD.

"Kok Papa nggak takut? Kan di film itu ceritanya kapalnya tenggelam, pada meninggal lagi orang-orangnya."

Bisma menggaruk tengkuknya, "Em, itu sebenarnya ...."

"Oh, Mama tau. Pasti Papa ngarepin ketemu cewek yang cantik kayak si Ros itu."

"Yah, namanya juga pikiran anak kecil." Bisma mengelak.

"Anak kecil yang futuristik." Nayla mencibir.

***

Waktu kecil gue lihat film seri legenda ular putih (ketauan gue generasi jadul) Besoknya gue minta beliin mak gue sumpit. Karena gue lihat kayaknya enak banget makan pakai sumpit.

Bukannya dibeliin gue malah diomelin sama mak gue. Terus gue pakai pensil, buat makan mi. Gue makan di kamar, pintunya gue konci. Biar nggak ketahuan mak gue.

Sengaruh itu pengaruh nonton film buat anak kecil. Makanya yang punya anak kecil di rumah, jangan kasih nonton yang aneh-aneh. Danger! 😂

Istri SengketaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang