15

8.4K 901 2
                                    

Nayla mengantar makan siang untuk Ananta ditemani oleh Gendis. Gadis itu sekalian menjenguk temanya yang kecelakaan.

"Mbak, aku tinggal nengok temnku nggak papa 'kan?" tanya Gendis.

Nayla mengangguk, "Iya, pergi aja. Nanti kalau udah selesai kamu nyusul ke ruangan mas Anta, ya?"

Gendis mengiyakan, gadis itu segera meluncur ke ruang rawat inap temannya.

Nayla berjalan seorang diri ke ruangan Ananta dengan menjinjing paper bag berisi kotak makan. Tadi ia sudah memasak makanan kesukaan Ananta. Ayam rica-rica.

Sampai di depan ruang praktek suaminya, tampak seorang wanita cantik berkulit porselen yang baru saja masuk.

Mungkin pasien, Nayla memutuskan menunggu di kursi tunggu depan klinik.

Sayup-sayup terdengar percakapan wanita itu dan Ananta. Mungkin konsultasi. Nayla memeriksa paper bag bawaannya, barangkali ada yang tertinggal.

Nayla tertegun ketika mendengar namanya disebut. Sepertinya kedua orang itu tidak sedang membahas masalah kulit ataupun masalah kesehatan lainnya.

"Sebaiknya kamu jangan datang lagi. Aku dan Nayla sudah bahagia." Terdengar suara Ananta.

"Tapi kamu terpaksa menikahinya. Kamu memutuskan aku demi menikahinya. Kamu nggak merasa bersalah sama sekali?" terdengar suara wanita terisak.

"Yang lalu, biarlah berlalu. Semuanya udah nggak penting buat dibahas."

"Kamu jahat, Ta! Kamu pria paling jahat yang pernah aku kenal!" Wanita itu mulai berteriak.

Nayla kaget ketika tiba-tiba wanita itu keluar dari ruangan Ananta sambil menangis.

Kemungkinan besar wanita itu adalah mantan kekasih Ananta.

Nayla jadi tidak bersemangat menemui suaminya. Perasaanya terasa kacau, peristiwa barusan ditambah hormon kehamilan, sukses membuatnya jadi kacau balau.

"Kok nggak masuk, Bu?" Suster asisten Ananta yang hendak masuk ke ruangan Ananta menyapa.

Suster itu mengenali Nayla sebagai istri atasannya.

"Saya buru-buru, Sus. Bisa titip ini?" Nayla mengulurkan paper bag di tangannya.

Suster itu hanya mengangguk saja. Ia memandangi kepergian Nayla dengan heran.

"Dari ibu, Pak." Suster itu menyerahkan titipan Nayla.

"Orangnya mana?" tanya Ananta sambil memeriksa bekal itu.

"Tadi ada di luar, tapi nggak masuk. Katanya buru-buru."

Perasaan Ananta menjadi tak enak. Ia segera melepas jas dokternya dan pergi ke luar ruangan.

Ia sempat berpesan kepada suster, "Kalau dokter Richard datang tolong suruh dia gantikan saya sebentar. Kemungkinan saya nggak akan kembali."

Suter itu hanya mengangguk sambil melihat kepergian Ananta yang terburu-buru.

Mungkin masalah rumah tangga.

***

Ananta menyusul Nayla hingga ke lobby. Nampak Nayla berjalan seperti orang linglung.

Ananta segera menghampirinya. Ia menahan tangan Nayla.

"Mau ke mana?"

Nayla hanya diam, pandangannya datar. Ananta merangkul bahunya dan mengajaknya masuk mobil.

"Kita lihat-lihat apartemen kita, ya?"

Nayla masih diam saat Ananta mulai melajukan mobilnya. Ananta meraih tangan Nayla dan menciumnya, sementara tangannya yang lain memegang kemudi.

"Tadi kata suster kamu datang."

Nayla masih diam, ia mengarahkan pandanganya ke luar jendela.

"Kenapa nggak masuk?" Ananta mengusap pipi Nayla.

"Kamu ada pasien." Nayla menjawab dingin.

"Dia bukan pasien." Ananta memutuskan untuk jujur.

Nayla menoleh, ia melihat ekspresi Ananta yang serius. Agar lebih fokus berbicara, Ananta sengaja menepikan mobilnya.

"Namanya Renata. Kami berpacaran sejak semester tiga. Dia dokter gigi."

Bukan itu informasi yang diinginkan Nayla!

"Kalian putus karena aku?" Nayla bertanya pada intinya.

"Bukan."

"Tapi dia bilang ...."

"Dia selingkuh dengan rekan sejawatnya. Udah berkali-kali minta maaf. Tapi aku abaikan."

Nayla masih menimbang, apakah ia harus percaya dengan penjelasan Ananta.

"Udah sering datang ke klinik juga. Aku nggak cerita karena aku pikir nggak penting kalau kamu tau."

Nayla masih diam, membuat Ananta khawatir.

"Nay, kamu percaya sama aku 'kan?" Ananta menggenggam tangan Nayla, dengan sorot mata memohon.

Nayla menghela nafas sejenak, lalu mengangguk. Ia percaya suaminya. Selama ini laki-laki itu selalu baik padanya. Penuh perhatian, tak pernah kasar sama sekali.

"Nay?" Ananta masih menunggu jawaban Nayla.

Akhirnya Nayla mengangguk, "Iya, aku percaya sama kamu."

***

Nah, gitu dong. Kalau sama bang Anta mah bawaannya adem, kalau sama si onoh, bawaannya geger bae 😁

Istri SengketaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang