"Gimana tadi hasil USG nya?" Ananta menanyakan keadaan calon jabang bayinya. Pria itu juga mencium perut Nayla sekilas.
"Baik, kata dokter sehat." Nayla berkata datar.
Ananta merasakan perubahan istrinya, Nayla tampak pendiam dan murung.
"Nay, kamu kenapa?" Ananta mengusap pelan rambut istrinya.
Nayla hanya menggeleng. Ia ragu menceritakan kejadian tadi siang.
"Bisma ngomong sesuatu sama kamu? Mama bilang dia yang ngantar kamu."
Nayla hanya diam, Ananta jadi semakin yakin kalau ada yang salah di sini.
"Biar aku tanya Bisma." Bisma berdiri.
Nayla menahan tangan suaminya yang ingin pergi menemui Bisma.
"Dia nggak mau mengurus perceraian." Nayla berucap pelan.
Ananta mengeratkan rahangnya. Ia membawa Nayla masuk ke dalam pelukannya.
"Nggak usah dipikirin, nanti aku yang urus." Ananta mengelus punggung Nayla, sesekali mencium puncak kepalanya. Mencoba menberi ketenangan.
Nayla mengangguk pelan. Ia akan mencoba percaya pada suaminya.
"Jangan terlalu banyak mikir. Nggak bagus buat kandungan kamu." Ananta mengkhawatirkan kondisi anaknya. Seorang ibu hamil tidak boleh stress, bisa berpengaruh pada perkembangan janin.
Nayla menangis ia tak tahan lagi.
"Dia bilang mau gugat kita ke pengadilan. Dia mau kita di penjara."
Ananta sudah kehilangan kesabaran, ia menghentikan gerakannya mengelus punggung Nayla. Pria itu melepaskan pelukannya.
"Bang, udah." Nayla mencegah Ananta yang ingin menghajar Bisma. Ia tak mau melihat kedua kakak beradik itu baku hantam karena dirinya.
"Tapi, Nay ...."
"Kita pindah aja dari sini." Nayla sudah memikirkan masak-masak. Mungkin ini jalan terbaik. Dengan begitu Bisma tak bisa lagi menganggunya.
"Tapi mama pasti ngelarang, apalagi kandungan kamu bermasalah. Kalau kamu sendiri di rumah, siapa yang jagain?"
"Kita bisa sewa asisten rumah tangga." potong Nayla.
"Baiklah, kalau itu yang kamu mau." Ananta tak punya pilihan lain selain menyetujui keinginan istrinya.
***
Setelah selesai makan malam, Ananta menemui Mama papanya yang sedang menonton TV.
"Ma, Pa. Anta mau ngomong."
Hana memastikan televisi, karena apa yang akan dibicarakan Ananta sepertinya penting.
"Mau ngomong apa?" tanya Hana.
"Anta sama Nayla mau pindah ke apartemen."
"Apa?" Hana kaget dengan ucapan anak sulungnya. Ini pasti ada hubungannya dengan Bisma.
"Anta udah siapin semuanya, lusa kami pindah."
"Tapi, Ta ...." Hana mencoba mencegah.
"Anta harap Mama Papa merestui keputusan Anta."
"Kenapa mendadak, hm?" tanya papa.
"Nggak mendadak, Pa. Udah kami pikirkan dari jauh-jauh hari." Ananta sengaja berbohong. Sebenarnya mau direstui atau tidak, ia akan tetap pindah. Di sini ia hanya berpamitan.
"Terus Nayla gimana? Siapa yang jaga? Dia kan lagi hamil." Hana khawatir dengan keadaan menantu kesayangnnya.
"Nanti Anta gaji orang buat nemenin dia."
"Baiklah kalau itu memang keputusan kamu. Mama Papa hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian." Papa menepuk bahu Ananta. Sedang Hana menangis tersedu-sedu.
"Makasih, Ma, Pa."
Gendis yang mendengar percakapan abang dan mama papanya, segera berlari ke kamar Bisma.
Tampak pria itu sedang membaca sesuatu, wajahnya terlihat serius.
"Bang! Ada hot news ...." Gendis berbisik. Ia melongok ke luar, lalu mengunci pintu.
"Hm, apa?" Bisma menanggapi seadanya, matanya masih menelusuri kertas itu.
"Bang Anta sama mbak Nayla mau pindah."
Bisma mengangkat wajahnya, ia meremas kertas di tangannya.
Jadi kalian mau kabur?
***
Puyeng dah gue kalau disuruh bikin adegan bunuh-bunuhan 😥
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Sengketa
Romance"Sekarang gue udah pulang, balikin istri gue." Bisma menatap kakaknya datar. Ananta hanya tersenyum pelan, adiknya ini masih saja kekanakan. Kalau dulu ia bisa saja mengalah jika Bisma merebut mainannya. Tapi sekarang ... Tidak lagi. Nayla bukanlah...