26

8.3K 900 15
                                    

Minggu pagi ini Bisma bangun kesiangan, karena semalam ia bermain bersama Nathan hingga menjelang pagi.

Jam satu malam bayi itu baru mau tidur, itu juga setelah Bisma pura-pura pingsan. Jadi ceritanya mereka main pingsan-pingsanan. Permainan bodoh!

"Papapa! Papapa! Cit cit cit!"

Terdengar suara sepatu bayi itu di sepanjang lorong. Bisma berusaha menutup telinganya.

"Papapa! Papapa! Yayaya!"

Gendis menepuk punggung Bisma. "Bang, dia ngajakin lo jalan."

"Darimana lo tau? Perasan bahasa dia gitu-gitu aja, kok artinya banyak? Kok lo paham?" Bisma tak percaya ucapan Gendis begitu saja. Biasanya gadis itu mengerjainya, sengaja untuk melimpahan tanggung jawab menjaga Nathan.

"Gue sering gaul sama dia. Makanya gue paham. Ntar kalau lo keseringan gaul sama dia, lo juga bakal ngerti."

Bisma memutar bola mata. Ia tak segera bangun dan ganti baju, membuat Nathan kesal.

"Papapa! Yayaya! Gagaga!"

"Ngomong apa, sih lo, Boy?" Bisma mengelus kepala bayi itu, wangi, masih basah juga.

Gendis dengan senang hati menerjemahkan, "Katanya kalau lo nggak cepet ganti baju mau ditinggal."

"Iya-iya. Cium dulu, dong." Bisma menyodorkan pipinya.

"Nonono, bababa!" Nathan mendorong wajah Bisma.

"Yang ini apa artinya?" tanya Bisma kepada Gendis.

"Oh, yang itu artinya, nggak mau, katanya lo bau jigong."

"Ah, itu mah bisa-bisaan lo aja." Bisma mengacak rambut Gendis.

***

"Aduh, ganteng banget cucu Oma. Mau jalan ke mana, nih?" Hana menyapa Nathan yang sudah siap duduk di boncengan Bisma.

"Katanya ngajakin jalan, Ma." Bisma menjawab.

"Mama diajak nggak?" Hana bertanya.

Mendengar pertanyaan omanya, Nathan jadi berpikir. Kemudian ia menoleh ke arah Gendis.

"Dididis, Yuyu! Yuyu!"

"Apa? Lo nyuruh gue turun?" Gendis cemberut, sudah capek-capek ganti baju malah nggak jadi jalan.

"Yuyu! Yuyu!" Nathan mengulangi perintahnya.

"Iya, iya! Gue turun." Kalau putera mahkota sudah bersabda, mau tak mau Gendis mematuhinya.

"Jahat, lo, Than! Jalan-jalan ini 'kan ide gue. Masa gue nggak boleh ikut?" Gendis menggerutu.

Sedang Bisma tersenyum saja melihatnya, lucu sekali ponakan gue ini, jadi makin sayang. Gue jadiin anak kayaknya oke juga.

"Agi mama! Agi mama!" Nathan kembali memerintah Gendis.

"Bodo! Lo panggil aja sendiri." Gendis masih ngambek, bibirnya maju lima centi.

"Tata angis! Tata angis!" (Ntar Nathan nangis, nih?)

"Ngancem mulu lo! Iya-iya gue panggilin emak lo!" Gendis mencubit pipi Nathan dengan gemas.

"Luan! Luan!" (Buruan! buruan!)

Gendis merasa dirinya sudah menjadi budak atau mbok emban bagi pangeran mahkota Nathan.

"Kenapa, Sayang? Kok belum jalan?" Nayla keluar dari dalam rumah sambil memakai apron, tadi dia sedang membantu Hana memasak.

Yang dipanggil sayang Nathan, yang baper Bisma.

Yang dimaksud sayang bukan lo, bego! Tapi bayi di belakang lo. Nggak usah baper!

Bisma tersenyum miris dalam hati. Jablay banget gue, ya?

"Aik Mama! Aik Mama!" Nathan menunjuk-nunjuk tempat di belakangnya.

"Aduh, Mama lagi masak, Sayang. Nanti siapa yang bantuin Oma?" Nayla berkata dengan lembut, sampai terasa di hati Bisma.

Udah, dibilang sayang-nya bukan elo! Baper aja kerjanya!

"Tata angis! Tata angis!" (Entar Nathan nangis, nih!) Nathan juga mengancam sang mama.

"Aduh, anak ganteng! Kalau udah ada maunya." Nayla tersenyum sambil mencubit pipi Nathan.

"Ikut aja, Nay. Kamu udah lama nggak jalan-jalan juga. Biar nanti Mama yang masak," kata Hana.

Nayla ragu untuk mengikuti usul sang mertua. Sebenarnya sah-sah saja ia pergi ke luar. Toh, ini sudah melebihi masa iddahnya, tiga bulan sepuluh hari.

Tapi, ini perginya dengan Bisma ....

***

Nathan lo lucu banget, sih. Kayak anak gue waktu kecil deh, suka banget ngancem. Ih, jadi pingin punya anak lagi  😁

Istri SengketaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang