42

6.1K 654 3
                                    

"Pokonya resepsinya nanti harus pakai adat Minang, Papa nggak mau tau!"

"Ya harus dirundingkan dengan keluarga sana dulu, Pa."

Nayla yang baru saja tidur, ia mendengar suara perdebatan kedua orang tuanya.

"Lagi bahas apa, Ma, Pa?"

"Bahas resepsi pernikahan kamu." Mama Nayla berkata dengan antusias.

"Tapi, Ma ... Bukannya aku udah bilang, aku mau nikah secara sederhana. Akad nikah aja cukup."

"Nay, kamu anak Papa satu-satunya. Pernikahan kamu yang pertama dilakukan secara diam-diam, yang kedua juga begitu. Papa mau di pernikahan kamu kali ini kita mengundang banyak orang. Semua sanak saudara kita di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi ...."

Nayla segera memotong ucapan papanya, "Pa, aku malu. Ini pernikahan ketiga aku. Gimana kalau ada orang yang mikir macam-macam?"

"Tapi, Nay ...."

"Hormati keputusan aku, Pa. Aku ingin akad nikah aku berjalan dengan hikmat. Aku nggak mau memikirkan hal-hal nggak penting lainnya."

"Tapi Papa punya impian untuk menyelenggarakan pernikahan kamu secara mewah. Papa juga udah siapin budget-nya."

"Uanganya buat yang lain aja, Pa. Papa bisa ngajak Mama umroh, misalnya ...." Nayla berusaha membujuk papanya.

"Masih sisa banyak, Nay ...."

"Di simpan aja, lain kali kalau Nayla perlu, Nayla minta. Oke?" Nayla memijit pundak sang papa.

Papa Nayla menghela nafas, "Mimpi apa papa? Punya anak cewek satu, keras kepalanya minta ampun."

***

Gendis membantu mamanya menyiapkan seserahan untuk Nayla. Seserahan itu berupa baju, tas, dan juga pakaian dalam.

Bisma sedang menonton TV di dekat mereka. Gendis melihatnya dan tertawa jahil.

"Bang, lo suka warna ungu, ya?"

"Semua warna gue suka, asal nggak luntur." Bisma menjawab asal.

"Emang seprei gocengen luntur?" Hana menyahut.

Gendis melambaikan sebuah pakaian dalam berwarna ungu di depan muka Bisma, pakaian dalam itu dibelikan Hana.

"Kalau warna ini suka nggak?"

Bisma menjitak kepala Gendis, "Ngapain lo jeber-jeber onderdil di depan gue?"

"Ya biar lo mupeng lah, apa lagi?" Gendis menjulurkan lidah ke arah Bisma.

"Kayaknya nih anak lama-lama makin mengkhawatirkan, Ma. Apa kita masukin dia ke pesantren aja? Masa kemarin dia bahas gadun-gadun segala ...." Bisma mengadukan Gendis kepada mamanya.

"Ha? Beneran?"

Bisma mengangguk yakin, "Katanya dia mau jual diri buat beli skinker."

"Masukin pesantren aja, Ma. Daripada dia terjerumus ke pergaulan bebas." Bisma mengompori mamanya.

"Enak aja! Si Moci 'tuh yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Setiap gue kasih main, pulang-pulang pasti bunting." Moci adalah kucing kampung peliharaan Gendis.

"Nurun dari majikannya." Bisma mencibir.

"Gue nggak pernah ngajarin dia kayak gitu, ya. Dia sendiri yang jablai." Gendis mengelak.

"Udah-udah, kok malah gibahin si Moci? Lebih baik bahas ini nikahan abang kamu." Hana mencubit pinggang Gendis.

"Abang mah nggak usah diajarin juga udah bisa, Ma. Masa kalah sama si Moci."

Hana memutar bola mata malas, "Maksudnya persiapan nikahannya."

"Udah beres semua, Ma. Mas kawin, penghulu, baju."

"Cincin?"

"Udah, kemarin baru beli." Bisma memijat pundak mamanya. Wanita itu sedari tadi paling sibuk mengurus ini itu.

"Ijab-kabul udah hafal belum?"

"Udah, Ma. Udah pengalaman juga." Gendis menyambar.

Bisma jadi teringat pernikahanya yang gagal dulu.

"Semoga ini pernikahan kalian yang terakhir, ya? Mama harap setelah ini kalian akan bahagia, ever dan after."

"Disney kali ...." Gendis terkikik.

"Gendis! Aminin!" Hana melotot kepada Gendis.

"Iya-iya, Aamiin. Tuh udah."

Hana hanya menggeleng melihat tingkah puteri bungsunya.





Istri SengketaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang