16

8.2K 936 15
                                    

Ananta mengajak Nayla melihat-lihat apartemen yang akan mereka tinggali.

Apartemen itu dibeli dari hasil tabungan Ananta dibantu dengan uang papanya.

"Maaf kalau tempatnya kecil."

Ananta menghampiri Nayla yang sedang melihat pemandangan gedung pencakar langit di depannya. Tangannya melingkari perut Nayla, memeluknya dari belakang.

"Nggak papa, Mas. Ini juga udah lebih dari cukup."

"Nanti aku usahakan pindah ke tempat yang lebih luas, yang ada halamannya. Biar anak-anak kita bisa bebas berlarian."

Nayla mengangguk, ia mengusap punggung tangan Ananta yang ada di perutnya.

***

Ananta dan Nayla pulang setelah magrib. Setelah dari apartemen mereka sempat makan di luar.

"Nyari furniturnya besok aja, ya. Nanti kamu capek."

Nayla mengangguk, Ananta menautkan jari-jari mereka. Gendis melihat mereka masuk dengan bergandengan tangan.

"Ciye, yang habis pacaran."

Ananta mengabaikan Gendis, mereka ingin langsung masuk kamar. Tiba-tiba Bisma sudah menghadang di ujung tangga.

"Gue mau bicara."

Ananta menyuruh Nayla masuk kamar terlebih dahulu. Nayla menurut.

Bisma mengajak Ananta bicara di ruang makan.

"Kenapa kalian mau pindah? Apa karena gue?" Bisma bertanya langsung pada intinya.

"Ini kemauan Nayla."

Rahang Bisma menegang. Jadi Nayla ingin menghindar darinya? Mengetahui hal itu, perasaan Bisma berkecamuk, antara marah, kecewa, sedih, dan sakit hati.

"Boleh gue minta sesuatu?" tanya Ananta.

"Lo mau minta apa lagi? Lo udah ambil istri gue. Apa lagi yang lo minta?"

"Segera urus surat perceraian kalian. Gue nggak mau Nayla kepikiran, nggak bagus buat kondisi kandungannya."

"Kalau gue nggak mau?" tantang Bisma.

"Lo bisa penjarakan gue, apapun yang lo mau. Tapi gue minta sedikit aja belas kasihan lo, demi ponakan lo juga." Ananta berkata dengan nada penuh permohonan. Katakanlah dia mengemis rasa belas kasihan dari Bisma.

"Lo nggak tau keadaan Nayla saat lo tinggal pergi. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Sekarang, setelah semuanya kembali berjalan normal, lo datang buat ngacak-ngacak hidup dia lagi. Lo manusia apa bukan?" Ananta sedikit emosi menghadapi keegoisan adiknya.

"Gue mau menebus semua. Gue mau Nayla kembali. Gue akan anggap anak lo seperti anak gue sendiri."

"Lo udah tanya sama Nayla. Apa dia mau kembali sama lo?"

Bisma merasa terpojok, kemarin sudah jelas Nayla menolak dirinya.

"Di sini yang harus pergi adalah lo. Nayla adalah istri sah gue, milik gue." Bisma berkata dingin. Kali ini ia tak mau mengalah.

"Nayla bukan barang. Yang bisa lo telantarkan dan pungut sesuka hati. Dia manusia yang punya perasaan. Kalaupun gue pergi, lo yakin dia mau kembali sama lo?"

Bisma bungkam. Dia tak tau harus menjawab apa. Ketenangan Ananta telah membuatnya malu.

"Bisma, mencintai bukan hanya soal memiliki. Tapi juga menghargai."

"Selama ini lo tidak menghargai waktu kebersamaan lo dengan Nayla. Lo menyia-nyiakan dia begitu saja. Bertahun-tahun dia hidup tanpa kepastian, dia nungguin lo."

"Seenggaknya kalau lo pergi, lo kasih tau, kapan lo kembali, sampai kapan dia harus nunggu lo."

"Gue yakin, kalau lo ngasih tenggang, sampai sepuluh tahun pun dia bakal nungguin lo."

"Tapi ini nggak, lo nggak ngasih kabar sama sekali. Lo masih hidup atau sudah mati, kami semua nggak tau."

"Terus lo mau Nayla menyia-nyiakan masa mudanya, demi nungguin lo seumur hidupnya, gitu?"

Mata Bisma memerah karena menahan tangis, ia merasa sangat bersalah.

"Dua bulan dia tinggal di rumah sakit, lo tau? Lo peduli? Enggak 'kan?"

"Dan sekarang lo menyalakan kami. Menyalakan gue. Asal lo tau, gue hanya mengambil tanggung jawab lo. Karena gue malu punya adik nggak bertanggung jawab kayak lo."

"Kalau lo emang nggak cinta dia, lo bicarakan baik-baik. Bukan main ngilang kayak pecundang."

"Lo sadar? Lo udah gantungin nasib anak orang. Dia gadis atau janda, statusnya nggak jelas. Dibilang janda, mayat lo aja nggak pernah ketemu."

"Lo pikir kami nggak pusing mikirin keadaan dia?"

"Sekarang dengan egoisnya lo kembali. Memaksakan diri lo masuk ke kehidupan dia. Lo orang apa jailangkung? Datang nggak dijemput, pulang nggak dianter?"

"Tolong, kalau lo masih punya hati nurani. Jangan mempersulit dia lagi. Biarkan Nayla hidup tenang bersama gue."

Ananta mengakhiri ucapannya. Ia menepuk bahu adiknya sebelum pergi. Meninggalkan Bisma yang masih terpaku.

***

Hayo, siapa yang masih menghujat bang Anta. Dia baek tau.

Istri SengketaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang