44. Gudang kosong

5.6K 697 26
                                    

¤¤¤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

¤¤¤

"Gudang ini sangat luas. Lantainya juga sangat kotor dan berantakan," ucap Tasya seraya menutup hidung dengan tangannya akibat debu.

"Kenapa udaranya sangat dingin? Di sini benar-benar gelap." Eka menyorot lampu senter yang ada di ponselnya ke penjuru ruangan.

Macam-macam makhluk terlihat menampakkan diri di hadapan mereka. Ada yang hanya sekedar melintas, terdiam, dan bahkan ada yang mendekat hanya untuk mengobati rasa penasarannya. Tasya dan Eka hanya terdiam saat ada sosok yang mendekati. Lalu setelah itu, sosok itu akan menghilang kembali.

Tasya tiba-tiba saja mengingat Elang. Dia membayangkan Elang yang melakukan hal itu di gudang ini sendirian. Apa Elang tidak merasa takut atau merinding? Gudang ini sebenarnya sangat ramai, ramai dihuni oleh makhluk 'tak kasat mata.

Langkah Tasya tiba-tiba saja berhenti, sontak yang lainnya pun ikut berhenti. Eka menghampiri Tasya yang ternyata tertinggal di belakang, terlihat menunduk dalam dan tidak bergerak sama sekali. Eka mencoba menggoyangkan tubuh Tasya dengan pelan. "Tasya, kamu baik-baik saja, 'kan? Bicaralah."

"Tasya?" tanyanya dengan nada membeo. "Aku bukan Tasya," lanjutnya dengan nada seperti anak kecil.

Sekarang Eka sadar, yang sedang dia ajak bicara bukanlah Tasya, melainkan sosok anak kecil yang ada di tempat itu. Tasya, lebih tepatnya sosok anak kecil itu menatap Eka dengan senyum khas anak kecilnya.

"Kakak ini namanya Tasya?" tanyanya lagi seraya menunjuk diri sendiri. Eka mengangguk. "Kalau nama Kakak siapa?"

"Panggil saja Eka," jawab Eka seraya tersenyum kecil. Dia berani meladeninya karena sosok anak kecil itu tidaklah memiliki energi negatif.

Tasya sontak bersorak senang seraya bertepuk tangan. "Kak Eka, aku senang bisa berkenalan dengan kalian. Oh, iya, mereka siapa? Aku tidak pernah melihat mereka di sini." Dia menunjuk para arwah korban Elang yang dari tadi memimpin jalan.

Eka menoleh ke arah para arwah itu dan tersenyum simpul. "Mereka semua teman Kakak."

"Teman?" Eka mengangguk cepat. "Aku juga ingin punya teman."

"Berapa usiamu dan siapa namamu?" tanya Eka masih dengan senyumnya.

"Usiaku delapan tahun dan namaku ... namaku siapa, ya?" Tasya tersenyum miris bersamaan dengan air matanya yang terjatuh. "Aku lupa namaku."

Eka yang melihat air mata itu spontan menghapusnya dengan tangannya sendiri. "Tidak apa, suatu hari nanti pasti kamu akan ingat siapa namamu. Oh, iya, kamu kenapa bisa ada di sini?"

"Aku juga tidak tau, tiba-tiba wush ... aku ada di sini," ucapnya seraya memperagakan sebuah gerakan terbang seperti anak kecil.

"Begitu, ya?" Tasya mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum. "Oh, iya, sebenarnya Kakak ingin mengobrol denganmu lebih lama lagi. Namun, kami ada urusan yang harus segera kami selesaikan di sini."

"Yah ... padahal aku masih ingin mengobrol dengan Kakak, karena selama di sini aku selalu sendirian," ucapnya dengan nada sedih.

"Nanti kita main lagi, ya, tapi untuk sekarang Kakak mau selesaikan urusan dulu, maaf, tidak apa-apa, 'kan?"

Tasya mengangguk. "Iya, tidak apa-apa, kok. Aku senang karena Kakak udah mau ngobrol sama aku, aku pergi dulu, ya, Kak. Kakak hati-hati, ya. Dadah!" Tasya melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar.

Eka membalas lambaian tangan itu dengan lambaian tangan juga. Tubuh Tasya hampir terhuyung ke belakang saat sosok anak kecil itu keluar, beruntung Eka cekatan untuk memegang bahu Tasya agar tidak terjatuh. Tasya membuka matanya dengan perlahan dan mencoba untuk berdiri tegak.

"Kamu baik-baik saja, Tasya? Masih kuat?" tanya Eka. Tasya mengangguk tanpa ragu. "Syukurlah, kalau begitu, ayo lanjut! Mohon tunjukkan jalannya lagi, ya."

Arwah itu mengangguk seraya tersenyum. "Tentu. Kita harus segera bergegas mencari pintu belakang."

Setelah berputar-putar mencari di mana pintu belakang gudang, akhirnya mereka menemukannya juga. Mereka merasakan energi yang begitu besar.

"Apa kita harus melewati pintu itu?" tanya Tasya dengan nada sedikit ragu. "Energinya terasa besar sekali, apa kita akan kuat untuk melawannya?"

"Aku tidak yakin, tapi kita harus tetap ke sana dan mencobanya sendiri. Tasya, kamu siap?" Tasya menatap pintu itu dengan serius, kemudian mengangguk yakin.

Tasya dan Eka pun melangkah maju dan melewati pintu itu dengan perasaan campur aduk. Mereka terkejut ketika melihat banyak sekali pohon dari berbagai jenis menjulang tinggi di belakang gudang. Dia tidak menyangka kalau di belakang gudang benar-benar hutan.

"Ini hutan? Lalu, kita harus ke mana lagi?" tanya Tasya pada arwah pembimbing jalan.

"Kalian harus berjalan lurus dan temukan kandang anjing liar di sana. Kami tidak bisa antarkan kalian sampai ke tempat, kami tidak kuat dengan energinya, terlalu besar untuk kami semua."

Tasya menoleh ke arah Mina. "Mina, kamu juga?"

Mina mengangguk pelan. "Iya, Tasya, maaf."

Tasya mengembuskan napas berat. "Kita hanya berdua, Mbak?" Eka sontak mengangguk.

"Ayo kita jalan, Tasya, malam sudah semakin larut." Tasya mengangguk. "Terima kasih sudah mengantar kami sampai sini, kami akan berjuang hingga akhir."

Mereka pun melanjutkan perjalanannya untuk mencari kandang anjing liar yang dikatakan arwah tadi. Dengan lampu senter dari ponsel masing-masing untuk penerangan, tidak aneh kalau mereka menemukan beberapa sosok di atas pepohonan ataupun di balik pepohonan. Namun, mereka tetap berjalan dan tidak memedulikan itu.

Tidak jauh mereka berjalan dari pintu belakang gudang, gonggongan anjing terdengar di telinga mereka. Mereka menyoroti kandang anjing itu dengan lampu senter dari ponsel. Tidak pikir lama, mereka berlari menghampirinya. Mereka terkejut, banyak tulang yang berserakan di sekitar kandang. Bau busuk pun mulai tercium, ternyata ada beberapa anjing yang telah mati dengan badan yang sangat kurus, mereka yakin kalau anjing itu mati karena kelaparan.

"Bagaimana caranya kita mengambil tulang-tulang itu?" tanya Tasya, "anjing-anjing itu terus menggonggong ke arah kita."

"Ambil dengan hati-hati, lagipula mereka sedang tidak berdaya. Tubuhnya melemah karena kelaparan," jawab Eka. Dia mengambil plastik hitam besar dan dua pasang sarung tangan dari dalam tas kecilnya. "Ayo, masuk!"

Tasya mengangguk pelan, sedikit ragu. Namun, dia tetap masuk. Mereka memungut satu per satu tulang-tulang korban. Meskipun takut, mereka memang harus melakukannya. Semuanya berjalan dengan lancar. Tidak ada siapa pun yang mengganggu mereka. Mereka tidak menyangka akan semudah itu. Anjing-anjing yang masih hidup juga hanya bisa menggonggong di tempat karena tidak kuat untuk berjalan, hingga akhirnya sebuah seruan terdengar.

"Apa yang sedang kalian lakukan?!"

¤¤¤

Cirebon, 13 Januari 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cirebon, 13 Januari 2022

Follow IG ⬇
taa.fn28

Indigo vs Psikopat 🔞 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang