50. Perpisahan Yang Mengharukan

8.2K 812 39
                                    

¤¤¤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

¤¤¤

Tempat kembali berganti. Tasya melihat sosok Resti sedang memerhatikan Elang yang terduduk diam. Penampilan Resti sangat berbeda, ini adalah memori setelah Resti meninggal. Melihat suasananya, Tasya tahu dia sedang berada di mana, yaitu rumah sakit. Bukan, bukan rumah sakit untuk orang-orang yang kecelakaan. Namun, rumah sakit untuk untuk orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Tasya mendekat dan berhenti di samping sosok Resti, tetapi Resti tidak mengetahuinya. Seorang pria berjas menghampiri Elang dan membawa Elang untuk memasuki sebuah ruangan. Tasya mengikuti sosok Resti yang memasuki ruangan tersebut. Seorang psikiater muda tengah duduk di kursi kerjanya. Dia terlihat sangat cantik.

"Paman, kita mau ngapain ke sini?" tanya Elang dengan bingung.

Pria yang dipanggil Paman itu berjongkok dan tersenyum. "Kamu harus periksa sama dokter itu, ya."

Elang sontak menoleh ke seseorang yang ditunjuk. "Memangnya Elang sakit apa, Paman? Elang baik-baik saja, Elang sehat. Kalau Paman tidak percaya, tanyakan saja pada Papa."

Tasya melihat raut wajah Resti berubah menjadi sedih, begitupun juga dengan raut wajah seorang pria yang dipanggil paman tadi. "Dengarkan Paman, Elang. Ini demi kebaikanmu. Papamu sudah tidak ada di sini. Bahkan kamu melihatnya di saat terakhirnya," ucapnya dengan nada lembut.

Elang mengubah raut wajahnya menjadi marah. "Tidak, Paman, Papa masih di sini. Dia ada di rumah, sedang menunggu kita untuk pulang. Sebaiknya kita cepat pulang, Paman. Kasihan Papa menunggu lama."

Tasya merasakan emosi Elang semakin tidak terkontrol. Elang terlihat memberontak dan menangis histeris. Tasya melihat Elang yang telah terbaring di ranjang rumah sakit setelah diberikan sebuah suntikan. Dia mendekat dan mencoba mendengar obrolan Paman dan Psikiater tentang Elang.

"Dia masih harus melakukan terapi. Trauma akan kejadian di masa lalunya masih terus menghantui," ucap sang Psikiater dengan raut sedih.

Mendengar ucapan psikiater itu, Tasya sontak terkejut. Dia menatap wajah tenang Elang yang tertidur. "Aku tidak menyangka, kamu bisa tumbuh dewasa dengan kondisi seperti ini. Elang, apa saat ini pun traumamu masih ada?" tanya Tasya, hingga air matanya terjatuh tanpa seizinnya.

Tasya telah kembali ke raganya, bahkan air matanya pun turut ikut ke dunia nyata. Tasya melihat kedua orang tua Elang yang saling tatap, itu membuat Tasya terkejut. "Sepertinya kamu telah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman antara mereka saat di masa lalu," ujar Eka menjawab raut bingung yang Tasya tunjukkan.

"Saya mengikutimu ke memori istri saya. Berkatmu, saya sudah tau apa yang sebenarnya terjadi. Terima kasih," sahut papanya Elang, "selama ini hanya saya yang dapat melihat keberadaan istri saya, tetapi dia tidak bisa melihat saya. Namun, berkatmu, dinding tidak terlihat yang menghalangi kami telah runtuh."

"Kamu telah membantu banyak, Tasya. Kami sangat berterima kasih padamu, kami juga berterima kasih banyak padamu, Eka. Tentu saja, kami juga berterima kasih padamu, Mina. Terima kasih banyak," ucap Resti dengan senyum hangatnya. Tasya, Eka, dan Mina sontak tersenyum dan mengangguk. "Elang, kamu sudah tumbuh dewasa sekarang. Mulai hari, hiduplah dengan baik, ya. Sudah saatnya kami pergi."

"Kenapa? Elang baru saja bertemu dengan kalian. Nanti saja, temankan Elang di sini. Elang kesepian, Ma, Pa," pinta Elang di sela isakannya.

Tasya melihat arwah kedua orang tua Elang mulai menghilang secara perlahan. Itu membuat Elang bingung dan cemas. "Elang, sudah saatnya, kami pamit pergi, ya. Jaga diri baik-baik."

"Jadilah orang baik, Elang. Kami pamit pergi. Selamat tinggal," ucap papanya Elang seraya tersenyum.

Elang yang melihat arwah kedua orang tuanya perlahan menghilang, air matanya mengalir semakin deras. "Terima kasih, Ma, Pa. Elang akan berubah mulai sekarang, maafkan Elang karena telah mengecewakan kalian." Elang menatap kedua orang tuanya seraya tersenyum getir dan melambaikan tangannya. "Pergilah dengan tenang."

Arwah mereka telah menghilang, membuat tangis Elang semakin deras. Tasya mendekatinya dan menghapus air mata itu. Baru hari ini Tasya melihat seorang Elang menangis. Elang yang biasanya memasang raut dingin dan terlihat begitu menjengkelkan, kini dia terlihat sangat rapuh dan tidak berdaya.

"Peluk aku," pinta Elang dengan suara lemahnya. Mendengar itu, Tasya sontak menatap wajah Elang dengan bingung. "Kumohon."

Tidak tega melihat wajah kacau Elang, Tasya semakin memperkecil jaraknya. Mata mereka saling bertemu, kemudian Tasya memeluknya seperti yang Elang harapkan. Lagi-lagi Elang tidak bisa menahan tangisnya, air matanya kembali terjatuh saat hendak membalas pelukan hangat tersebut, tetapi dia tidak bisa melakukannya karena darah di tangannya.

"Terima kasih, Tasya," bisik Elang dengan nada lirih. Tasya melepas pelukan tersebut, lalu mengangguk dan tersenyum. "Kalian boleh bawa saya sekarang," lanjut Elang seraya menoleh ke dua polisi tersebut.

Kedua polisi yang sedari tadi hanya bisa diam, kini bergerak dan membawa Elang turun untuk dibawa ke kantor polisi. Elang memasuki mobil polisi dan melaju meninggalkan rumah besarnya. Tasya, Eka, Gilang, dan Mina menatap mobil itu dengan diam. Tanpa sadar, air mata Tasya kembali turun. Dia berhasil, dia telah berhasil menepati janji-janjinya. Dia telah berhasil menghentikan Elang. Semuanya telah selesai. Pengorbanannya tidaklah sia-sia.

Tasya menghapus air matanya dan tersenyum. "Semuanya ... benar-benar telah selesai."

¤¤¤

Cirebon, 18 Januari 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cirebon, 18 Januari 2022

Follow IG ⬇
taa.fn28

Indigo vs Psikopat 🔞 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang