###
Besoknya, setelah malam penangkapan Elang. Tasya, Eka, dan Gilang dipanggil oleh pihak kepolisian sebagai saksi. Alhasil, mereka memenuhi panggilan itu dengan datang ke kantor polisi setelah pulang sekolah.
Mereka bertemu dengan Bu Hasna, Pak Dede, dan juga pamannya Elang yang baru saja datang dari Amerika pagi tadi. Polisi menginterogasi mereka di dua ruangan yang berbeda, satu per satu. Tasya dan Eka keluar dari masing-masing ruangan interogasi dengan disusul oleh dua polisi di belakangnya.
"Terima kasih sudah datang dan berkenan untuk kami interogasi. Kami akan diskusikan masing-masing jawaban dari kalian lebih dulu," ucap salah satu anggota polisi yang menginterogasi tadi.
"Maaf, Pak, boleh saya menemui keponakan saya?" tanya pamannya Elang.
Mendengar itu, Gilang sontak mengangkat tangan kanannya. "Saya juga. Boleh saya menemui teman saya?"
Kedua polisi itu sontak menoleh ke arah Gilang, kemudian tidak lama mereka mengangguk. "Kalian boleh menemuinya. Namun, kalian tidak bisa menemuinya secara bersamaan. Kalian harus bergiliran."
Semuanya mengangguk. "Baik, siapa pun yang ingin menemuinya, ikuti saya!"
Gilang dan pamannya Elang sontak mengikuti polisi itu. Tasya menoleh ke arah Eka dan ditanggapi anggukan. Tasya pun menyusul. Eka tidak bisa ikut karena ada urusan mendadak, sedangkan Pak Dede dan Bu Hasna, mereka harus segera kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat karena masih syok.
"Saudara Elang berada di dalam. Silakan siapa yang ingin masuk lebih dulu?" ucap polisi itu ketika sudah berada di depan pintu ruangan Elang.
"Apa boleh saya dulu yang masuk?" tanya pamannya Elang meminta persetujuan. Gilang dan Tasya pun mengangguk. "Terima kasih."
Polisi pun membukakan pintu ruangan tersebut dan mempersilakan pamannya Elang untuk masuk. Elang yang merasakan kehadiran seseorang di dekatnya pun sontak menoleh, membuyarkan lamunannya sendiri. "Paman Adsen?"
Pria yang dipanggil Adsen oleh keponakannya sendiri itu sontak tersenyum tipis dan duduk di bangku panjang depan Elang duduk. Ruangan itu hanya ada tikar, bangku dan meja. Begitu sepi dan membosankan.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Adsen.
Elang menunduk dalam. "Maaf, sudah membuat Paman kecewa."
"Bagaimana kabarmu?" Adsen mengulang kembali pertanyaannya seraya masih mempertahankan senyumannya.
Mendengar itu Elang menoleh sekilas, kemudian kembali menunduk. "Seperti yang Paman lihat."
"Maaf, seharusnya Paman tidak pergi." Elang kembali menoleh dan memandang wajah Adsen. "Seharusnya Paman selalu ada di sisi kamu. Paman ingin pulang dan kembali tinggal di rumah itu denganmu."
"Paman," panggil Elang, "Paman sudah berkeluarga. Pulanglah, kembali ke keluarga Paman. Paman tidak boleh meninggalkan mereka."
"Sekarang kamu sudah tumbuh semakin dewasa. Selama Paman pergi, apa kamu hidup dengan bahagia? Kamu begitu kuat hingga sampai di detik ini. Paman mengerti dengan traumamu. Paman pikir kamu sudah sembuh, karena itu Paman berani meninggalkanmu. Namun, ternyata Paman salah, kamu sebenarnya masih membutuhkan Paman. Maafkan Paman, Elang."
"Tidak. Ini memang salahku sendiri. Paman tidak perlu meminta maaf. Salahku sendiri yang tidak bisa mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan. Aku membutuhkan seseorang agar tidak kesepian, tetapi aku lebih memilih diam. Saat SMP, aku bertemu dengan Zion, dia adalah teman pertamaku. Dia yang selalu menemaniku dan mengenalkan cara melampiaskan amarah sekaligus stresku. Aku tidak pernah berpikir apa yang aku dan Zion lakukan adalah salah. Bagiku, selagi aku bisa melampiaskannya, maka aku akan melakukannya. Maaf, Paman."
Mendengar jawaban Elang, Adsen bangun dari duduknya dan berpindah ke samping Elang. Dia memeluk Elang begitu erat. "Bodoh. Katakan saja apa yang membuatmu stres. Jangan membuat Paman merasa bersalah lebih dari ini."
"Sekarang Paman tidak perlu khawatirkan aku lagi. Sudah ada mereka, mereka akan selalu ada untuk Elang. Meskipun rasanya berat untuk merelakan Zion yang telah pergi lebih dulu, apalagi dia pergi dengan tanganku sendiri. Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasa kehilangan seseorang lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Rasanya menyakitkan."
Mendengar suara Elang yang sedikit bergetar, Adsen kembali mengeratkan pelukannya. Dia menahan air matanya agar tidak terjatuh dengan susah payah.
"Paman," panggil Elang. Adsen sontak berdeham untuk menjawab. "Apa mereka ada di sini? Aku ingin bicara dengan mereka."
Adsen melepaskan pelukannya dan mengangguk. "Tunggu sebentar, biar Paman panggilkan mereka."
Adsen berjalan keluar dari ruangan dan berbicara dengan polisi yang menjaga. Setelah mendapat izin, Adsen pun memanggil Tasya lebih dulu. Karena dipanggil, Tasya ikut masuk ke ruangan dan bertemu dengan Elang lagi. Dia duduk di samping Elang, dan Adsen duduk di depan mereka.
"Polisi hanya mengizinkan dua orang saja yang boleh masuk. Karena itu, Paman panggil Tasya lebih dulu. Ada hal yang ingin Paman bicarakan," ucapnya, "Tasya, terima kasih sudah selalu ada untuk Elang. Terima kasih sudah menemani Elang hingga sekarang, meskipun kamu tau siapa Elang. Terima kasih banyak."
Tasya hanya mengangguk pelan dan tersenyum canggung. "Tidak perlu berterima kasih. Tasya melakukan itu semua dengan senang hati. Bagaimanapun juga Elang adalah kakak kelas sekaligus teman Tasya. Sebagai teman, Tasya harus selalu ada untuknya."
"Kamu sangat baik. Saya beruntung bisa mengenal kamu. Saya merasa lega ketika tau Elang memiliki teman yang tulus seperti kamu dan Gilang. Sekali lagi terima kasih banyak." Suasana tiba-tiba menjadi hening, Adsen pun berdiri dari duduknya. "Paman akan panggilkan Gilang dan kalian bisa mengobrol." Tasya dan Elang sontak mengangguk saja.
Adsen kembali keluar dari ruangan dan berganti menjadi sosok Gilang yang berjalan masuk. Gilang duduk di tempat Adsen tadi dan menyapa seperti biasanya. "Gimana kabarnya?" tanya Gilang mencoba mencairkan suasana.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Elang, "terima kasih sudah mau menjadi teman saya."
Gilang tersenyum tipis dan mengangguk cepat. "Terima kasih juga karena lo udah mau anggap gue sebagai teman. Gue terharu. Satu lagi, maaf dan terima kasih karena lo tetap mau anggap gue sebagai teman, meskipun lo ada di sini itu semuanya karena gue."
Elang menggeleng pelan. "Kamu tidak salah. Saya memang pantas mendapatkan hukumannya. Maaf karena sempat membuatmu kecewa. Saya tau, sebenarnya kamu sudah tau rahasia saya sejak hari itu, 'kan? Saya tau kamu menguping pembicaraan saya dengan Zion, meskipun begitu kamu tidak pernah menjauhi saya."
Gilang menunduk dalam. Iya, dia mengetahuinya saat kejadian itu. "Maaf."
"Tidak perlu meminta maaf. Justru saya yang seharusnya berkata seperti itu, saya sudah menyimpan rahasia dari teman sendiri. Saya sudah membohongimu dan membuatmu kecewa. Namun, meskipun begitu, kamu masih tetap mau berada di samping saya seperti biasanya. Terima kasih."
"Itu semua juga berkat Tasya. Awalnya gue takut dan ingin menjauh. Namun, hati gue gak sanggup. Rasa sayang gue ke lo jauh lebih besar dari rasa takut gue sendiri. Tasya selalu meyakinkan gue untuk tetap ada di sisi lo," balas Gilang dengan tatapan serius.
Gilang yang hanya melihat respons diam dari Tasya dan Elang sontak mengerutkan keningnya bingung.
"Gilang," panggil Elang. Gilang sontak menoleh. "Kamu ... suka sama saya?"
"Eh?" Gilang terdiam sesaat, berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Elang. Melihat respons Gilang, Tasya terkekeh kecil. Gilang menoleh ke arah Tasya dan menyadari sesuatu. "Astaga! Konsepnya gak gitu! Gue normal!"
###
Cirebon, 29 Januari 2022
Follow IG ⬇
taa.fn28
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo vs Psikopat 🔞 ✔
HorrorHoror - Thriller Bagaimana jika seorang indigo bertemu dengan psikopat? Dan bagaimana jika psikopat bertemu dengan indigo? Seperti inilah kisahnya, gadis cantik bernama Anastasya Nugraha yang memiliki kemampuan melihat mereka yang 'tak terlihat. Ti...