11. Direct Kiss

2.7K 263 13
                                    

Jangan lupa bantu cek typo. Jangan lupa vote dan komen.

Happy reading 😊

💗💗💗



Tidak butuh waktu lama untuk sampai di mobil. Nana membantu Winta duduk dan memposisikan kakinya dengan pelan. Lalu melajukan mobilnya ke kos Bujank Tampan. Dia sudah terlanjur janjian dengan Ale di kos Bujank Tampan. Laptopnya yang terkena virus membutuhkan pertolongan Ale dengan segera.

“Kok kita ke sini, Mas?” tanya Winta begitu mobil Nana berhenti di depan kos Bujank Tampan.

“Gue mau nemuin Ale dulu. Mau service laptop.”

“Terus kaki gue gimana ini? Katanya mau ngobatin.”

“Ya gue obatin di sini. Lo tenang aja. Lagian kaki lo tingkat kesleonya masih sedang. Nggak berat.”

Winta kicep. Dia pasrah saat Nana menggendongnya lagi masuk ke dalam rumah kos. Heksa yang sedang jaga fotokopian sempat melongo melihat adegan gendong-gendongan ala Winta dan Nana. Jiwa kejombloannya meronta-ronta.

“Eh, kenapa itu kok digendong?” tanya Heksa begitu keluar dari etalase fotokopian.

“Abis jatuh. Ini kakinya kesleo. Renza ada kan, Sa? Gue mau pinjem alat-alatnya dia.”

“Ada, kok. Di dalem dia. Ale juga nungguin lo di dalem.”

“Oke, makasih. Gue masuk, ya.”

“Iya. Buruan obatin tuh kakinya Winta. Kasian,” timpal Heksa yang tumben omongannya nggak melenceng.

Nana menurunkan Winta di sofa ruang tengah. Sengaja di ruang tengah karena sofanya lebih panjang. Nana memposisikan kakinya Winta di atas tumpukan bantal sofa.

“Lo rebahan dulu. Kakinya yang sakit ditaruh dulu di bantalan sofa.”

“Nggak enak, Mas.”

“Nurut aja. Kaki lo posisinya harus lebih tinggi kalau rebahan. Biar lebih mudah mengalirkan cairan berlebih di kaki lo.”

Winta mendecih pelan. “Ih, ribet banget, sih.”

“Eh, Bang. Udah datang ternyata,” ujar Ale yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Lho, ada Winta juga ternyata.”

“Hai, Le. Gue numpang rebahan dulu ya di sini.  Kaki gue kesleo.”

“Eh, iya silakan. Boleh, kok. Asalkan rebahannya nggak sama Bang Nana terus menimbulkan suara-suara aneh,” balas Ale yang otaknya 4G-nya mulai travelling.

“Anjir, cangkemanmu, Le!” umpat Nana. Ale malah terkekeh.

“Mana laptopnya, Bang. Sini gue benerin dulu. Semoga file-file pentingnya bisa selamat.”

Nana mengeluarkan laptop dari tas ranselnya. “Nih, tolong banget, ya. Nanti pasti gue traktir makan enak.”
“Sip, Bang. Gue benerinnya di kamar, ya. Kalau di sini entar gue jadi nyamuk kebon.”

“Kampret!” pisuh Nana yang hanya dibalas kekehan oleh Ale.

“Mas, gimana nih kaki gue?” tanya Winta kemudian setelah merasa dianggurkan sebentar oleh Nana.

“Iya, bentar. Sabar.”

Nana langsung masuk ke kamar Renza. Si empunya kamar ternyata sedang dalam mode serius. Matanya fokus pada jurnal-jurnal kedokteran yang bertebaran di kasur dan meja belajarnya.

“Ren, minta perban elastis sama paracetamol, dong,” ujar Nana.

Renza yang merasa terganggu memelototi Nana dengan garang.
“Masuk kamar gue ketuk dulu bisa nggak, sih? Gue lagi mode serius juga! Jadi buyar kan konsentrasi gue,” omel Renza membuat Nana nyengir kuda.

Young CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang