34.MARIANA

312 60 4
                                        

Buitenzorg, 1897

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Buitenzorg, 1897

Thomas sudah mendapatkan kapal yang akan membawa kami pergi ke Timur, meninggalkan Pulau Jawa. Suratnya datang tiga hari yang lalu dari Batavia, tetapi aku belum menulis surat balasan meskipun tahu Thomas pasti sedang menunggu dengan was-was. Keadaan di perkebunan menjadi rumit sejak Mirah ditemukan mati. Suasana di rumah begitu tegang, sampai-sampai aku nyaris tak tahan. Namun, aku belum bisa pergi dari sini. Kematian Mirah menyisakan tanda tanya tentang siapa yang melakukannya. Mengapa ia membunuh babu yang kusayangi itu.

Aku menangis terisak-isak begitu tiba di rumah. Aku tak peduli teman-teman Mama menegurku karena berduka untuk seorang babu. Mirah adalah satu-satunya orang yang selalu bersamaku sejak aku masih bayi. Aku tak pernah lepas dari pandangannya, demikian pula sebaliknya. Mirah orang terdekatku, sebelum aku dipaksa tinggal di Batavia.

Surat Karel kuterima di Batavia, satu minggu setelah peristiwa itu. Sungguh kelambanan yang sangat kusesali. Aku langsung memutuskan pulang ke Haur Panjang. Paman dan bibiku tidak bisa menahanku tetap di Batavia, bahkan ketika Paman Theo menghubungi Gerrit Van Heuvel dalam usahanya menahanku untuk tidak pulang.

Lelaki itu datang ke rumah paman dan bibiku ketika aku sudah selesai berkemas dan siap berangkat esok paginya bersama Kesih. Sepertinya ia agak tidak senang dengan kepanikanku.

“Siapa yang terbunuh itu?” tanyanya padaku di ruang tamu. Aku menemuinya ditemani Tante Liz.

Gerrit van Heuvel tidak terlalu sering datang karena kesibukannya, untuk itu aku sangat bersyukur. Aku muak melihatnya, dan meski sekarang ia berusaha menjadi lebih lembut, sikap arogannya tidak bisa hilang. Aku sebenarnya tidak mengerti kenapa ia ingin menikahi perempuan yang pernah menjadi tunangan anaknya.

“Mirah. Salah seorang babu di perkebunan kami,” sahutku.

Inlander.” Ia mendengus. “Pulang demi seorang babu.”

“Dia pengasuh saya,” tegasku, tanpa menyembunyikan nada kesalku. “Dia juga ibu susu abang saya, Karel. Bagi saya tidak penting dia orang Belanda atau pribumi. Orang seperti Anda tidak akan mengerti, Tuan Van Heuvel.”

“Orang seperti apa aku ini, Mariana?” Ia tampak agak tersinggung.

“Maafkan keponakan saya.” Tante Liz segera menengahi. “Mariana sedang kebingungan dan sedih, jadi bicaranya kacau. Babu itu memang pengasuhnya sejak bayi. Keadaan di perkebunan menjadi rumit karena senjata pembunuhnya sudah ditemukan, dan senjata itu milik ayah Mariana.”

“Senjata apa itu?”

“Senapan berburu.”

“Ah. Apakah siapa saja bisa mengambil senjata itu diam-diam untuk digunakan membunuh?”

“Itulah yang kami pikirkan. Babu itu mungkin bertengkar dengan seseorang. Tentu ada tahu ada banyak sekali babu dan jongos di rumah itu. Mereka bebas keluar masuk, demikian juga asisten-asisten perkebunannya. Bisa saja salah satu dari mereka mengambil senjata itu diam-diam. Tidak mungkin kakak ipar saya membunuh seorang babu. Untuk apa? Namun, keadaan menjadi agak rumit karena kakak ipar saya seolah-olah menjadi tertuduh di mata para kuli dan tetangga-tetangganya. Mariana mencemaskan ayahnya.”

Along Comes Mariana Cornelia (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang