Pertemuan Padma dengan hantu perempuan Belanda yang meminta bantuannya, bukanlah sesuatu yang ia anggap penting. Sampai kemudian, orang yang dicintainya melalukan hal yang sangat menyakitkan.
Padma memutuskan menjauh dari orang-orang yang melukainya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bogor, 2013
Kami mengangkat peti itu dengan hati-hati. Namun, peti itu ternyata utuh dan tidak ambrol seperti yang kutakutkan. Besinya sudah berkarat, tetapi tidak terlalu parah. Barangkali karena lubang penyimpanannya rapat dan cukup kering, sehingga kondisinya terjaga.
“Kau saja yang buka.” Aku menggesernya sedikit ke arah Lukas.
“Kenapa? Takut di dalamnya ada ular atau tikus?”
“Enggak mungkin mereka bisa masuk. Petinya tidak berlubang,” sahutku. “Aku takut di dalamnya ada yang aneh-aneh.” Aku bergidik.
“Tulang belulang?” Lukas tertawa. “Petinya terlalu kecil, Ima.”
“Enggak peduli. Pokoknya, kau saja yang buka.”
Namun, ternyata membukanya lumayan sulit karena karat. Setelah mencongkelnya dengan sepotong besi lainnya yang lebih pipih, tutup peti akhirnya bisa dibuka. Aku mundur untuk mengantisipasi kejutan di dalamnya. Ternyata, tidak ada apa pun yang melompat dari dalam peti itu.
Lukas tertawa. “Tuh, lihat sendiri.”
Kepala kami berdua menunduk mengamati isi peti. Beberapa benda usang dan kotor tergeletak di dalamnya. Aku mengulurkan tangan, meraih beberapa lembar kertas yang ternyata adalah foto-foto hitam putih yang diselimuti debu. Kuamati apa yang tercetak di sana. Wajah-wajah dari masa lalu itu balas memandangku dengan tatapan kosong. Entah kenapa, aku merasa sedih.
Salah satu foto tampaknya robek menjadi dua. Ketika kusatukan foto itu, yang kulihat adalah seorang lelaki berumur tigapuluhan berwajah Barat sedang duduk di kursi kayu berukir, menatap kamera dengan wajah yang berwibawa. Ia berkumis dan sorot matanya penuh percaya diri. Aku teringat foto yang pernah ditunjukkan Abah Ukam, yang ia temukan di Rumah Besar. Lelaki ini kukenali sebagai Pieter van den Berg dalam versi lebih muda.
Di belakangnya, berdiri seorang perempuan pribumi yang mengenakan kebaya dan kain batik sederhana. Rambutnya disanggul, kulitnya sawo matang, dan tampak begitu manis. Umurnya masih remaja tapi sorot matanya tampak dewasa. Ia juga versi lebih muda dari perempuan pribumi yang duduk di tanah sembari memegang tangan gadis kecil Belanda di foto Abah Ukam. Di foto yang ini, ia menggendong seorang anak lelaki kecil yang menatap kamera dengan berani. Anak lelaki itu mungkin baru berumur setahun. Tampan dan menggemaskan.
Kuletakkan foto itu bersama beberapa foto lainnya. Kuraih lagi sebuah benda dari dalam peti. Sebuah tusuk konde dari perak. Salah satu ujungnya berupa sekuntum bunga yang mirip kembang sepatu. Tusuk konde itu sangat cantik. Aku menimangnya. Milik siapa ini? pikirku. Milikmukah, Mariana?
Tangan Lukas terulur dan meraih sebuah benda lainnya, yang belum kuperiksa. “Apa ini?” Ia mengamatinya di bawah cahaya dari jendela yang terbuka. “Koin?”
Aku mengambilnya dan ikut mengamatinya. Kulihat ada dua lubang kecil yang tertutup karat di belakangnya. “Oh, ini kancing,” ujarku. Kancing itu terbuat dari logam kuning, sudah agak aus pinggir-pinggirnya karena terlalu lama disimpan. Aku melirik foto yang baru kuletakkan itu. “Kancing dari pakaian Pieter van den Berg?”