Pertemuan Padma dengan hantu perempuan Belanda yang meminta bantuannya, bukanlah sesuatu yang ia anggap penting. Sampai kemudian, orang yang dicintainya melalukan hal yang sangat menyakitkan.
Padma memutuskan menjauh dari orang-orang yang melukainya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Buitenzorg, 1896
Seminggu setelah kepulangan Constantijn, Papa menyetujui permintaan Karel untuk membeli kuda pacuan. Ia akan menghubungi temannya di Bandung untuk mencarikan beberapa pasang kuda yang bagus. Kata Papa, temannya itu tahu di mana bisa membeli kuda-kuda bagus untuk pacuan. Ada beberapa kota yang terkenal memiliki peternakan kuda khusus pacuan.
“Ada beberapa peternakan yang membiakkan kuda-kuda berkualitas bagus, hasil persilangan kuda Eropa dengan jenis-jenis kuda lokal yang paling baik. Ruud Vergusson akan membantu mencarikan beberapa ekor untuk kita,” kata Papa. Saat itu, kami sedang makan malam bersama. “Tidak ada salahnya kalau kita juga mengembangbiakan kuda-kuda itu nanti.”
“Harganya pasti sangat mahal, Pa. Apakah kita sanggup membelinya?” Karel meringis. “Aku memang sangat gembira dengan rencana ini. Tetapi, sebagai penanggung jawab administrasi dan keuangan pabrik, aku perlu memikirkan pembiayaannya.”
“Jangan khawatir, Karel.” Papa tertawa. Ia tampak bersemangatnya dengan Karel soal kuda pacuan ini. “Kita anggap sebagai pengeluaran investasi. Kuda-kuda itu nanti akan menghasilkan uang juga. Hadiah pemenang dalam pacuan kuda nilainya besar.”
“Masalahnya, mengurus kuda-kuda pacuan tidak bisa dilakukan sembarang orang, Pieter. Kuda-kuda itu tidak sama dengan kuda-kuda lokal tunggangan dan penarik delman kita. Juga tidak sama dengan kuda-kuda beban di pabrik yang lebih kuat dari kuda-kuda kita di rumah.” Mama menimpali. “Kita harus mempekerjakan pengurus kuda yang berpengalaman. Amat, Mali dan Ukam hanya bisa mengurus kuda-kuda lokal dan penarik delman.”
Selain kuda-kuda tunggangan dan penarik delman di rumah, kami sebenarnya punya 20 ekor kuda beban. Kandangnya terletak di dekat pabrik. Kuda-kuda itu kuat dan dirawat khusus, karena mereka dipergunakan untuk menarik gerobak-gerobak yang mengangkut karung-karung teh dan kina dari pabrik ke stasiun kereta api, untuk seterusnya dikirim ke Batavia.
Sementara menguping sambil menghabiskan nasi dan smoor ayam di piringku, aku sependapat dengan Mama. Para pengurus kuda kami yang sekarang tidak akan bisa mengurus kuda-kuda pacuan. Kami sekeluarga pernah beberapa kali menonton pacuan kuda di Bandung. Pacuan diselenggarakan di sebuah lapangan luas bernama Tegallega Raceterrein. Peserta pacuan datang dari berbagai kota, karena acara yang meriah itu diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun Yang Mulia Ratu Wilhelmina dan Yang Mulia Ibu Suri Ratu Emma, setiap bulan Agustus.
Aku, yang bahkan tidak terlalu menyukai kuda, dibuat terkagum-kagum melihat hewan-hewan tangguh dan gagah itu ditunggangi joki mereka, berlomba adu cepat mengelilingi lapangan. Bulu-bulu yang mengkilap, surai dan ekor yang mengibas anggun, sepasang mata yang ramah dan cemerlang, derap empat kaki yang berirama, dan ringkikan nyaring seperti terompet perang. Pada saat itulah aku mengerti kenapa Karel sangat menyukai kuda.
Papa mengangguk. “Ya, Griet. Aku sudah memikirkannya. Nanti sekalian kutanyakan pada Ruud. Atau, aku mungkin bisa bertanya kepada Constantijn, apakah ia mengenal seorang pengurus kuda pacuan yang terpercaya untuk mengajari para pekatik kita cara merawat kuda-kuda pacuan.”