Luna membawa Arjuna ke basecamp. Sebuah rumah sederhana yang menjadi tempatnya dan tim dalam menyelesaikan masa pengabdian. Gerimis diluar sudah berubah menjadi hujan rintik-rintik dan tidak mungkin juga bagi Luna untuk meninggalkan Arjuna yang sedang sakit ini sendirian.
Tanpa uang dan juga tujuan, Luna bahkan hanya bisa geleng kepala ketika Arjuna bercerita statusnya yang kabur dari rumah sakit. "Tunggu disini."
"Lun..." satu tangannya menahan Luna. "Kamu nggak mungkin tega usir aku kan? Bisa jadi gembel beneran loh aku."
"Siapa suruh kamu aneh-aneh kesini!"
Arjuna mengerang lagi. Tangannya menyugar rambutnya yang lepek karena gerimis tadi. "Nyusulin kamu, kan? Memangnya siapa yang hobinya kabur-kaburan, sih! Heran... lima tahun enggak cukup? Masih mau kabur-kaburan lagi?"
Luna jelas tidak siap dengan topik tersebut. Karenanya memilih memalingkan wajah dan bersedekap. Sayangnya suara bersin dari lelaki menyebalkan dihadapannya langsung membuatnya teralihkan. Tanpa menunggu dirinya menjadi yang pertama memutus jarak dan menangkup kening lembab Arjuna.
"Panas..." gumamnya pelan. Tangannya beralih menangkup sisi leher. "Baju kamu basah, bawa ganti enggak?"
Dengan santainya Arjuna menggeleng. "Mana sempat."
Luna berdecak. Digandengnya Arjuna menuju salah satu balai tempat biasanya dirinya dan tim melakukan pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga. Tidak mungkin juga langsung membawanya masuk sementara Luna tidak siap jika harus menjawab siapa Arjuna ini kepada para rekan satu timnya.
Rencananya adalah memulangkan Arjuna secepat mungkin. Tapi sebelum itu, mana mungkin tega Luna membiarkan pasien kabur dari rumah sakit yang sialnya begitu dipedulikannya ini terus memakai pakaian lembab yang basah?
"Sebentar—"
Kalimat Luna teredam saat baru saja langkahnya membalik dan Arjuna menariknya hingga menumbuk pelukan. "Kenapa sih? Alergi banget dekat-dekat aku memangnya?"
Sejujurnya hati Luna merepih. Debarannya masih sama kuatnya tetapi Luna perlu untuk terus menjaga pikiran warasnya. Ini tidak benar karena dirinya... sudah berjanji. "Lepas."
"Nggak!"
Sadar untuk bersikap lebih tegas, kali ini Luna mendorong dengan sedikit lebih kuat. Pelukan keduanya terlepas dan tatapan kecewa Arjuna membuat Luna beribu kali lipat lebih terluka. Semua orang hanya tidak tahu betapa inginnya Luna terus mendekap tubuh Arjuna yang begitu dirindukannya ini.
"Lun? Really?" Arjuna menatap Luna lekat. "Aku nggak marah sekalipun kamu sama sekali nggak ada waktu aku bangun. Tapi please... jangan begini."
Luna memalingkan wajah dan menahan air matanya. Tentu saja Arjuna tidak tahu dan tidak akan ada yang memberi tahu bagaimana hancurnya dirinya saat Arjuna masih terbaring koma beberapa waktu lalu. Maka... biarkan Luna sekali lagi menjadi penjahatnya.
"Buat apa aku datang? Aku... sama sekali nggak peduli." Luna jelas ikut tercabik oleh kalimat kejamnya tersebut. "Kita ini bukan apa-apa."
Rahang Arjuna mengetat dan dalam satu gerakan diraihnya wajah Luna untuk direngkuh. "Bilang sekarang kalau kamu benar-benar nggak peduli aku sakit!"
Bahkan setelah mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan dengan lantang, tetap saja Luna tidak mampu. Karenanya saat Arjuna memaksa untuk mempertemukan tatapan mereka, Luna hanya bisa menggigit bagian dalam pipinya.
"Kamu bisa saja menolak aku, tapi mata kamu selalu nggak bisa bohong."
Ketika wajah Arjuna mendekat, Luna kembali mendorongnya menjauh. "Itu... nggak mengubah apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...