32

496 68 0
                                    

Margaret menghitung dengan pasti. Ada 46 orang disana, termasuk anak dan selir - selir dari masing - masing saudaranya. Perempuan itu mengernyit. Rasanya tak mungkin jumlahnya kurang dari 50 orang, mengingat ia tahu seberapa banyak selir yang dimiliki Jansen.

"Dimana sisanya ?" Tanyanya bingung.

"Ada beberapa yang memberontak dan berusaha kabur sehingga pasukanku membunuhnya, Yang Mulia. Jumlah mereka terlalu banyak sehingga kami akan kewalahan bila kami tidak membunuhnya di tempat." Jawab Ansel dengan was - was.

"Baiklah, kita selesaikan saja yang ada disini. Bawa Jansen kemari." Di luar perkiraan Ansel, ternyata Margaret tak marah sama sekali.

"Mau kau apakan mereka ?" Tanya Kenneth dengan tenang.

"Entahlah. Ada ide, Yang Mulia ?"

"Panah saja mereka satu per satu. Mari buat taruhan. Panah wanita disana, tepat wajahnya." Kenneth menunjuk seorang wanita yang berdiri di barisan kedua paling belakang. Margaret menoleh dengan senyuman liciknya.

"Bila aku berhasil ?"

"Ku tambah warisanmu." Kenneth mengangkat sebelah alisnya. Margaret sangat tertarik dengan tawaran tersebut sehingga ia cepat - cepat menarik busur panahnya dan mengukur dengan tepat. Kenneth terus memperhatikan Margaret tanpa berkedip sekalipun. Ia sedang melihat kemampuan memanah dari seorang Margaret Days.

"Lepaskan." Kenneth memberinya aba - aba. Detik itu juga sebuah anak panah melesat cepat mengenai wajah seorang wanita muda. Darah terciprat kemana - mana, membuat semua orang yang terikat disana menangis histeris. Tak terkecuali Jansen yang telah sampai di lapangan bawah. Ansel berada di sebelahnya untuk mengawal lelaki tersebut.

"Margaret ! Hentikan, Margaret ! Demi Tuhan, hentikan ! Mereka tak punya masalah denganmu !" Jansen bahkan terisak - isak di bawah sana. Ansel memposisikan Jansen tepat di depan barisan orang - orang yang sedang diikat di tiang - tiang sehingga ia bisa melihat kematian keluarganya satu per satu.

"Hebat sekali, sesuai sasaran." Puji Kenneth padanya. Margaret sama sekali tak mendengar teriakan Jansen. Ia sibuk tertawa di depan suaminya.

"Sudah ku bilang, aku bisa memanah, Yang Mulia." Ujar Margaret dengan bangga.

"Sekarang giliranmu. Aku ingin kau membidik..." Margaret memberikan busur panahnya pada Kenneth sembari memilih sebentar.

"Itu, lelaki berbaju merah. Panah tenggorokannya."

"Curang sekali." Kenneth tersenyum sinis.

"Ayolah, apa yang tidak bisa dilakukan oleh Kenneth Days ?" Margaret mengedipkan sebelah matanya.

"Apa yang kau janjikan padaku ?"

"Bulan madu pertama kita di Godrech, bagaimana ?"

"Baiklah, bila kau memaksa."

"Yang Mulia !" Margaret tertawa lepas disana karena kini ia sudah memahami selera humor Kenneth. Mereka berdua tak mempedulikan tangisan yang terdengar disana.

"Kenneth !" Isakan Jansen terdengar semakin keras saat Kenneth berhasil memanah seorang lelaki tepat di lehernya, sesuai dengan tantangan Margaret tadi.

"Berani sekali kau meneriakiku seperti itu. Apakah kau sekarang sadar bahwa aku adalah rajamu ?" Berbeda dari Margaret yang sejak tadi tak mempedulikan ucapan Jansen, Kenneth justru menyahuti ucapan lelaki tersebut dengan tegas.

"Sampai kapanpun aku tak akan mengakuimu sebagai rajaku !"

"Aku tidak perlu pengakuanmu untuk menjadi raja. Memang kau siapa ? Kau hanya anak selir. Suaramu tak akan didengar." Tandasnya tajam. Margaret hanya tersenyum menatap Jansen, seakan menunjukkan bahwa pada akhirnya ia menang.

WARM DAYS - United MonarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang