Tidak Ada Maaf Untukmu

353 44 8
                                    

"Kamu tidak akan mengantarku pulang?" Aku bertanya begitu karena Baekhyun berhenti di Apartemennya.

"Kita sudah pulang." Dia bicara sambil keluar dari mobil. Mengeluarkan barang-barang kami dari bagasi.

"Aku ingin pulang ke Apartemenku." Aku yakin Baekhyun bisa mendengarku di luar sana. Karena di basement hanya ada kami berdua.

Dan sekarang dia membukakan pintu mobil untukku. "Aku tidak akan membiarkanmu tinggal sendiri di saat kamu sedang mengandung anakku. Nanti kalau ada apa-apa aku juga yang disalahkan."

"Jadi kamu bersikap begini karena takut disalahkan? Bukan semata-mata tulus memperhatikan kami?"

Baekhyun menatapku datar. Seperti sedang menahan kesabaran. "Mau kamu apa? Aku bersikap baik, tapi kamu tidak menganggapku. Aku bersikap cuek kamu juga protes. Aku benar-benar tidak tahu apa sebenarnya yang kamu mau."

"Kamu sudah tahu apa yang aku mau. Tapi kamu tidak pernah bisa menyanggupinya." Usai mengatakan itu aku keluar dengan membanting pintu mobil dan meninggalkannya.

Terlambat untuknya jika benar-benar peduli sekarang.

***

Jika bukan karena permintaan orang tua kami, aku tidak akan mau tinggal bersamanya. Tapi aku tidak punya alasan untuk bilang tidak kepada mereka. Karena mereka mengira hubungan kami sudah baik-baik saja. Sementara aku begitu sulit memaafkan laki-laki yang telah menduakanku.

"Yang perlu kamu tahu, aku mencintaimu."

Aku teringat ucapannya. Memang terdapat kesungguhan di matanya ketika dia bilang begitu.

Tapi, seberapa kuat perasaannya terhadapku, tidak akan mampu mengalahkan rasa benci ini. Sehingga segala usahanya untuk membuatku kembali hanya sia-sia.

Menjelang makan malam, aku memasak seperti biasa. Dan menyajikannya di atas meja makan. Dia mau ikut makan ataupun tidak, juga aku tidak peduli.

Tapi kenyataannya sekarang kami makan dalam satu meja.

Sudah dari dulu, Baekhyun yang tidak pernah jauh dari ponselnya entah apapun aktivitasnya, termasuk dalam keadaan makan seperti sekarang. Tapi kini dia meletakkan ponselnya di sebelah piring. Lalu ketika benda pipih itu bergetar, mataku spontan menatap ke sana.

Entahlah. Mungkin karena masih trauma, sehingga ketika benda itu berbunyi, spontan aku merasa takut yang membawaku pada rasa sakit kala itu.

Baekhyun meraih ponselnya untuk melihat siapa yang menelpon. Lalu menatapku. "Ini dari manager." Dia sengaja memberitahuku karena menyadari raut wajahku saat ini.

"Aku tidak peduli dan tidak mau tahu siapa yang menghubungimu."

Dia sudah mau berubah atau tidak, itu tidak ada artinya lagi bagiku.

Tampaknya Baekhyun tidak terima dengan respon yang kubilang barusan, hingga dia menunjukkan tatapan menakutkan. Lalu melepas alat makannya kemudian berkata, "Selesaikan makanmu. Kita perlu bicara." Dan berlalu dengan emosi yang ditahan.

Aku pun ikut tidak berselera dibuatnya.

"Kamu mau kemana?"

Baekhyun benar-benar menungguku di ruang tengah saat aku akan menuju ke kamar untuk pergi istirahat setelah selesai beberes di dapur.

"Tidur. Aku ngantuk."

"Tadi kubilang kita harus bicara."

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan."

"Sikapmu!" Dia sedikit membentak. "Aku suamimu. Kamu tidak bisa bersikap seperti ini padaku."

"Aku begini karena kamu yang memulai. Jadi jangan mengeluh. Sikapku begini karena kamu."

"Aku sudah minta maaf."

"Itu tidak menjamin aku akan baik-baik saja! Buktinya kamu membuatku menjadi seperti sekarang. Aku tidak peduli kamu suka atau tidak dengan sikapku. Kamu ingin dihargai, sedangkan kamu tidak pernah menghargai posisiku sebagai istrimu. Sekarang siapa yang lebih dirugikan?"

Aku paling tidak bisa menahan air mata jika berdebat dengan Baekhyun tentang perkara yang sama.

Sementara dia tidak merespon. Pertanda menyadari dia bersalah namun tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memperbaikinya.

"Kalau kamu tidak mau bercerai, terima saja hubungan ini apa adanya."

Ucapan terakhirku untuknya.[]

UNTITLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang