Kupikir hanya ilusi ketika wajahmu muncul saat mataku terbuka. Aku menutup mataku kembali berharap itu hanyalah mimpi, lalu membukanya.
Ternyata itu memang kamu.
Aku tidak terkejut mendapati kita yang hanya dibalut selimut. Tentu saja kamu akan mengambil kesempatan ini. Dan aku membiarkan tanganmu mengelus pipiku.
"Penjaga Bar itu bilang kamu terus menyebut namaku. Aku tidak akan ke sana jika bukan aku yang kamu harapkan. Orang mabuk tidak pernah bohong."
Tanganmu masih bekerja di pipiku. Aku dengan mata sembab karena menangis meremas selimut.
Apa yang harus kulakukan terhadapmu?
"Kalau kamu masih membutuhkanku. Bukan begini caranya. Jangan menyiksa diri."
Aku menyudahi semua ini lantas bangkit tanpa tergesa-gesa.
Lemah secara fisik, batin, juga mental yang membuat pergerakanku menjadi tidak berdaya.
"Tidak semudah itu kamu menjalani kehidupan tanpaku. Sekarang bagaimana? Apa kamu masih sanggup?"
Kamu terus bicara. Sedang aku mengenakan pakaian yang kamu tanggalkan.
Sesungguhnya omonganmu tidaklah penting.
Hingga aku selesai tampil seperti sebelumnya. Seperti berusaha mengajakku bicara, kamu tidak berhenti.
"Aku tidak bermaksud membuatmu menjadi seperti sekarang. Terlebih-"
Plak!
Aku takkan bicara sesuatu yang tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Jadi biarkan tanganku yang bekerja.
Aku ingin memakimu dengan suara lantang. Tapi itu hanya bisa membuatku tenang untuk sesaat saja.
Aku tidak sanggup lagi. Bahkan bernafaspun rasanya sulit.
Aku meninggalkanmu dalam keadaan diam terpaku. Bahkan tak sema sekali memindai kepalamu yang berpaling setelah kutampar.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED
Short StorySebut saja cerita tak berjudul. Karena aku bingung judul apa yang tepat untuk menceritakan keseharian kita. Karena semua rasa yang kurasakan terjadi di sini. Mulai dari yang namanya bahagia hingga tersakiti.