Jane bangun pagi-pagi sekali karena ia harus mencari pekerjaan usai resign dari kafe yang beberapa minggu lalu mengalami kebangkrutan.
Sebelum Jane berangkat, ia menyempatkan dirinya untuk berpamitan pada sang ibu yang kini terbaring lemah diatas ranjang.
Langkah Jane menuju kamar Ellen.Disana, Ellen terbaring lemah tak berdaya. Sudah hampir dua bulan ini penyakit kanker otak Ellen semakin parah.
Jane tidak sanggup membiayai operasi pengangkatan kanker otak tersebut, secara gajinya pas-pasan. Jane mencari pinjaman uang dari teman dan tetangganya, namun tak satu pun dari mereka yang berniat membantunya.
"Jane, kenapa kau tidak berangkat saja ke kafe?" Ellen bertanya terbata-bata, ia kesulitan untuk berbicara.
Jane merasa kasihan dan tidak tega, ia berniat akan segera mencari uang pengobatan untuk ibunya.
Terpaksa berbohong, akhirnya Jane menjawabnya. "Aku berangkat sekarang ya bu," Jane berpamitan pada ibunya, mencium kedua pipi yang sudah mulai keriput itu dengan kasih sayang. Ia sangat mencintai Ellen.
"Berhati-hatilah. Jangan pulang terlambat," Ellen berpesan, ia khawatir suatu hal buruk akan terjadu pada Jane.
Hari ini Jane berangkat menggunakan sepeda kunonya sebuah pemberian hadiah ulang tahun dari ayahnya saat berusia 17 tahun. Mengingat hal itu hatinya menjadi sedih, kenyataan pahit diterimanya saat ayah menjadi korban tabrak lari setelah pulang bekerja servis payung.
Tanpa sadar air mata Jane mengalir deras, ia bekerja dengan gigih agar bisa membiayai pengobatan ibunya.
"Aku berjanji akan mendapatkan uang sebanyak mungkin agar ibu sembuh dan bisa membuatkan aku sandwich isi kubis," ucap Jane, pandangannya tidak fokus pada jalan raya sehingga keseimbangannya saat bersepeda. Sebuah mobil dari arah berlawanan itu menyerempetnya.
Jane terjatuh, rasa perih pada bagian lututnya yang kini berdarah karena goresan aspal.
Seseorang yang menyetir di dalam mobil itu berdecak kesal menyadari kecerobohannya setelah menabrak orang lain. Ia segera keluar dan mengecek kondisi korbannya apakah baik-baik saja.
"Berdirilah, jangan duduk di tengah jalan," uluran tangan dari Danzel membuat Jane menatapnya namun seketika tepisan kasar itulah sebagai jawabannya.
Danzel merasa heran. "Kau ini tidak tau terima kasih. Saat orang lain menolongmu, setidaknya terimalah bukan menolak!" suara Danzel meninggi, ia emosi karena menabrak seseorang membuat waktunya tersita berangkat ke kantor.
Jane akhirnya meraih uluran tangan Danzel. "Seharusnya kau yang berhati-hati. Beruntungnya aku masih selamat dan hanya luka kecil, jika tidak kau harus bertanggung jawab!" Jane berseru kesal.
Danzel mengangguk. "Aku pasti bertanggung jawab. Lukamu itu di obati, ayo ikut bersamaku."
Jane pasrah, tapi sebelum itu ia berkata. "Antarkan aku mencari pekerjaan di toko bunga yang tidak jauh darisini."
"Toko bunga yang kau maksud itu sekarang menjadi perusahaan mekanik," sahut Danzel datar. Perempuan di hadapannya ini tidak mengerti jika dirinyalah yang membeli tanah itu.
Jane terkejut. "APA?" setengah berteriak dan membuat Danzel menutup kedua telinganya.
"Kau tidak percaya? Ayo aku antarkan sekarang juga. Jangan membuang waktu emasku," setiap penekanan tegas itu di tunjukkan pada Jane.
Selama perjalanan, kecepatan mobil Danzel seperti pembalap handal bahkan Jane hanya memejamkan matanya tidak berani sekaligus takut akan terjadi kecelakaan.
Danzel melirik Jane, bibirnya tersenyum miring. Ia memiliki sebuah ide untuk menjahili Jane.
Danzel semakin menambah kecepatan mobil Buggati-nya.
Jane yang merasakan adrenalin melayang seperti menaiki rollercoaster menjerit ketakutan.
"HENTIKAN!" pekik Jane yang sudah menangis, biarkan saja dianggap cengeng karena pria di sampingnya itu menyebalkan.
Akhirnya Danzel menghentikan mobilnya tepat di parkiran perusahaan mekanik milik ayahnya.
"Turunlah, aku akan mencarikan pekerjaan untukmu," ucap Danzel. Meskipun sifat dingin dan ketusnya itu membuat semua orang kesal namun sisi baiknya yang penolong pasti akan meluluhkan hati siapapun.
Jane turun dari mobil Danzel, langkahnya mengikuti pria arogan itu.
"Pekerjaan apa? Aku hanya lulusan sekolah menengah atas bukan bergelar sarjana," kata Jane agar Danzel tidak memilihkannya jabatan tertinggi.
Tapi pikiran Jane tentang biaya pengobatan ibunya itu kembali terngiang.
'Lebih baik aku menerimanya saja daripada kesulitan mencari pekerjaan. Dimana pun tidak mungkin menerima lulusan sekolah begitu mudahnya, pasti mereka mencari yang mempunyai gelar sarjana,' batin Jane dalam hatinya.
Saat sudah memasuki gedung yang begitu megah dan luas itu, Jane merasa kagum dengan design interiornya. Pasti seluruh karyawan yang bekerja disini akan dibayar banyak.
"Namaku Danzel Alexander. Kau bisa memanggilku Danzel," memperkenalkan diri tanpa berjabat tangan pada Jane, itulah Danzel tidak ingin menyentuh wanita manapun kecuali ibunya. Ada satu alasan mengapa ia menjaga jarak dari semua wanita, yaitu tidak ingin memberikan harapan sekaligus menyakitinya hingga menangis.
"Halo, aku Jane Margareth. Panggil saja Jane," tanpa ragu dan berani Jane mengulurkan tangannya, tapi Danzel hanya diam.
"Baiklah," sedikit salah tingkah Jane mengurungkan niatnya berjabat tangan dengan Danzel.
"Tapi jika kau ingin memberikanku pekerjaan, berikanlah gaji 100 juta dollar dalam satu tahun," Jane bernegosiasi, ia tidak ingin bekerja terlalu keras namun bayarannya tidak seberapa.
'Tidak ada salahnya aku menuntut hakku. Lagipula uang sebanyak itu hanya untuk biaya pengobatan ibu agar lekas sembuh,' ucap Jane dalam hatinya.
Danzel terkejut tidak percaya. "Kau pikir yang memberikan gaji itu dirimu?" suaranya naik seperti membentak hingga beberapa karyawan menatapnya penasaran.
Jane salah tingkah, sedikit gugup ia berkata. "T-tapi aku membutuhkan biaya pengobatan operasi kanker otak ibuku. Apakah kau tega membiarkannya sakit terus tanpa sembuh?" tatapan berbinar Jane di tunjukkan pada Danzel agar hati kerasnya bisa luluh.
"Ada apa ini?" Anette merasa terganggu karena keributan kecil itu menarik perhatian aktivitas para karyawan.
"Ibu, dia menuntut gaji bernilai tinggi untuk biaya pengobatan orang tuanya," Danzel mengadu pada Anette, ibunya.
"Tidak apa-apa, aku pasti akan memberimu gaji berapapun sesuai keinginanmu," senyuman tulus Anette itu membuat Jane kembali ceria dan bahagia.
"Wah! Terima kasih banyak. Aku tak menyangka akan mendapatkan bantuan secepat ini. Sudah sekian lama aku berdoa kepada Tuhan. Akhirnya sekarang inilah doaku di dengar," ucap Jane terharu sampai ia menitikkan air mata.
Sedangkan Danzel menatap jengah Jane yang berlebihan. Apakah sebelumnya wanita itu tak pernah merasakan uang yang banyak?
'Pasti dia tidak jauh berbeda dengan wanita haus harta diluar sana. Hm, aku akan menghindarinya. Bisa jadi setelah ini pasti jatuh cinta lalu mengajakku jalan-jalan di mall. Membeli semua barang branded tanpa peduli kartu bank milikku hampir terkuras habis. Sungguh, bagiku wanita manapun sama saja. Cinta karena harta, bukan dari lubuk hati yang tulus,' batin Danzel.
'Yess! Wanita ini sangat baik sekali. Semoga dia di berkati oleh Tuhan dan keluarganya,' kata Jane berdoa dalam hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...