Episode 39

166 10 0
                                    

Beberapa saat kemudian, panggilannya terhubung. Sudah lama Daniel tak pernah menghubungi Jane.

"Halo Jane?" sapa Daniel, ada kerinduan yang terselip di balik itu. Namun ia lebih memilih memendamnya daripada harus di utarakan langsung kepada Jane. Ia tidak mau persahabatannya dengan Jane merenggang hanya karena adanya perasaan spesial.

"Oh, bukan Jane ya?" Daniel merasa sungkan, apalagi suara yang menjawab sapaannya itu seperti wanita paruh baya.

"Mama Danzel? Em..kebetulan ini saya sedang bersama Danzel. Dan kondisinya mabuk berat," keluh Daniel merasa lelah, Danzel tertidur. Huh, sungguh merepotkan sekali. Danzel ini tak betah di rumah sampai kelayapan keluar dan mabuk begini.

"Dimana alamatnya? Saya akan mengantarkan Danzel pulang sekarang juga dengan taksi," ucap Daniel tak sabaran, apalagi tangannya sudah lelah menopang tubuh Danzel.

"Baik. Saya sampai disana secepatnya," angguk Daniel mengakhiri sambungan teleponnya. Ia segera menyetop taksi dan mendudukkan Danzel di kursi belakang.

"Kompleks Permata pak," ucap Daniel dan sang sopir pun mengangguk.

'Apakah pernikahan Jane dan Danzel tidak bahagia? Hm, aku ingin lebih tau lagi. Jane tidak boleh sedih dan menderita. Aku tidak suka melihatnya, apalagi menyaksikan air matanya. Sabar Jane, aku usahakan kau bahagia dengan Danzel,' batinnya berkata. Meskipun tidak tau betul bagaimana kehidupan rumah tangga antara Jane dan Danzel itu selalu akur dan jauh dari kata pertengkaran, tapi tetap saja hal tersebut tak dapat di hindarkan.

Sedangkan mama Anette dibuat terkejut mendapatkan kabar bahwa Danzel sedang dalam keadaan mabuk dan di temukan oleh pria bernama Daniel.

"Bagaimana ma? Apa dia berangkat kesini?" tanya Galen tak sabaran. Ia juga sudah menghubungi Danzel namun nomornya tidak aktif, tentu ini membuatnya cemas dan khawatir. Benar saja, Danzel sedang diluar pergi ke klub, sebuah kebiasaannya di masa lalu dan kini di ulangi lagi.

Mama Anette mengangguk. "Sebentar lagi. Dia akan sampai kesini."

Jane juga belum sadar karena terlalu syok hampir tertabrak mobilnya tadi.

'Danzel, sesibuk apa kau diluaran sana? Sampai Jane kau abaikan dan tak terurus begini?' batin mama Anette sedikit geram, Danzel seperti suami yang tidak becus menjaga istrinya.

"Permisi," suara laki-laki menginterupsi itu mengalihkan mama Anette dan Galen.

"Masuklah," beranjal dari duduknya, Galen membantu Daniel memapah Danzel yang sedang pingsan.

"Ya ampun Danel. Astaga, kenapa sampai mabuk begini? Kau temukan dimana dia?" tanya Galen khawatir, mendudukkan Danzel di sofa.

"Tidak jauh dari klub," jawabnya. Mata Daniel tak bisa lepas dari Jane yang juga pingsan disana. Kenapa lagi sahabatnya itu?

"Jane baik-baik saja?" tanya Daniel penasaran, hanya sekedar memastikan kondisi Jane.

"Dia belum juga sadar. Apa di bawa ke rumah sakit saja ya?"

"Jangan ma. Aku baik-baik saja," sahut Jane mengejutkan mereka yang ada disana. Ia sudah sadar, kepalanya terasa pusing. "Aku dimana?" melihat sekeliling yang asing membuatnya tidak tau dirinya sedang berada dimana saat ini.

"Di rumah Danzel. Lebih baik menginap disini saja ya? Sampai kau benar-benar sehat," kata mama Anette memberikan saran. Lagipula tidak ada salahnya Jane menginap, apalagi pas sekali dengan adanya Danzel. Membayangkannya saja membuatnya tersenyum bagaimana Jane tidur satu kamar bersama Danzel. Kerap kali mendapatkan laporan CCTV tersembunyi yang sengaja di pasang di apartemen Danzel. Robby mengatakan bahwa Jane tidak pernah tidur satu kamar dengan Danzel, parahnya Jane tidur sendirian di sofa panjang depan televisi.

"Jane? Kau tidak sakit kan?" tanya Daniel begitu khawatirnya.

Menggeleng lemah, samar-samar Jane melihat Daniel yang tak jauh di hadapannya. Astaga! Daniel? Untuk apa sahabatnya itu ada disini?

"Daniel? Kau tau darimana ini rumah Danzel?" tanya Jane masih tak menyadari kalau Danzel sedang pingsan gara-gara mabuk berat.

"Tadi aku menelponmu, tapi mama Danzel yang menjawabnya. Itu, Danzel masih pingsan. Dia mabuk dari klub," tunjuk Daniel, Jane sontak menoleh mendapati Danzel terpejam damai di single sofa.

"Astaga Danzel!" Jane langsung menghampiri Danzel, ia memeluk suaminya yang masih dalam keadaan pingsan itu. "Danzel? Sadarlah," menepuk pipi Danzel berharap suami pemarahnya itu sadar.

"Jane?" suara lemah Danzel merespon. Ia masih mabuk sedikit. "Kau suka dengan cinta pura-pura kita selama ini?" tanpa sadar Danzel berkata jujur, membuat semuanya disana terkejut tak percaya. Cinta pura-pura?

Mama Anette masih tak percaya jika selama ini Danzel ternyata mencintai Jane secara pura-pura. Dengan satu bukti rekaman CCTV saja tidak cukup.

"Ma," bisik Galen, istrinya pun menoleh. "Kalau orang mabuk biasanya bicara jujur. Tidak mungkin ada yang di tutupi," suaranya sangat pelan, takut Jane dengar.

Anette mengangguk. "Begitu ya? Kita dengarkan saja."

"Jane," panggil Danzel, tangan dinginnya menyentuh pipi hangat Jane. Sangat cantik sekali istrinya itu.

Untuk yang pertama kalinya Jane menangis. Ia terlalu lemah menghadapi Danzel yang tiba-tiba selembut ini.

"Meskipun kita berpura-pura cinta, tapi perasaan ini tumbuh dengan sendirinya. Jane, aku jujur. Aku mulai mencintaimu. Aku mohon Jane, perbaiki cinta kepura-puraan ini. Tolong akhiri sekarang juga," pinta Danzel dengan tatapan sendunya.

Berusaha menyelam lebih dalam, Jane mengamati mata Danzel yang berkaca-kaca seperti ingin menangis. Benarkah ini? Apakah ia sedang tidak bermimpi?

Jane mengangguk antusias. Tentu saja, inilah yang di nantikannya selama berbulan-bulan lamanya. Dan sekarang membuahkan hasil. Penantian cinta sebelah pihak akhirnya menjadi indah dan terbalaskan.

"Danzel," terisak pilu memeluk Danzel penuh kerinduan. Jane sangat menantikan moment ini.

Untuk pertama kalinya. Jane memeluk Danzel tanpa suaminya itu protes, marah, apalagi mendorongnya sampai jatuh. Sekarang, Danzel membalas pelukannya.

Sedangkan ada sekeping hati yang hancur menyaksikan pemandangan itu di depan matanya sendiri.

Daniel. Ia juga mencintai Jane, namun karena terhalang status persahabatan menahan rasa cinta terlarang itu yang tak seharusnya hadir.

'Begini ya? Rasanya melihat orang yang di cintai ternyata mencintai orang lain? Sesakit ini melebihi cermin retak hancur tak bisa di satukan lagi. Jane, aku harap kau memang bahagia dengan Danzel. Aku sempat terkejut kalau selama ini kau dan dia berpura-pura mencintai. Tak kusangka kepura-puraan itu menjadikan perasaan yang nyata,' tutur Daniel dalam hatinya.

"Nak? Kau mau mampir sebentar?" suara Galen itu membuyarkan lamunan Daniel.

"Ah, tidak perlu. Masih ada pesanan kue lain yang perlu diantar. Saya permisi dulu pamit pulang," rasanya tak kuasa melihat Jane memeluk Danzel sangat erat seakan mengartikan takut kehilangan Danzel.

"Silahkan nak. Hati-hati ya," suara Galen perlahan menghilang. Daniel mempercepat langkahnya, air matanya sudah tidak tahan terbendung lagi. Jangan heran laki-laki seperti Daniel itu mudah menangis hanya karena seorang wanita.

Menunduk menuntaskan tangisannya. Daniel menghapus air matanya.

"Aku cengeng sekali menangisi wanita yang aku cintai. Sabar Daniel, mungkin ini salah satu cara untuk melepas Jane dengan iklas," berusaha baik-baik saja. Menata hati yang hancur dengan mencoba kuat dan tegar.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang