Episode 73

73 5 0
                                    

Sebelum berangkat ke kantor, Jane meminta Robby untuk mampir ke toko ponsel. Awalnya mendapatkan protesan dari Danzel yang katanya menyita waktu.

"Sadar sedikit, kemarin yang membanting siapa? Tidak ada tanggung jawab, main masuk kamar. Dan seenaknya di perintah beli ponsle baru," gerutu Jane mengomeli Danzel. Meskipun uangnya cukup, tidak ada keinginan membeli ponsel mahal. Terpenting untuk hiburannya saat jenuh, juga komunikasi dengan mama Anette, Daniel, dan Haris. Oh tidak, nomor sahabatnya pasti jelas sudah hilang.

"Robby! Ikut aku. Tapi jangan lupa, kunci mobilnya. Jangan sampai playboy ini kelayapan keluar," melirik sinis sang suami, Danzel duduk tenang tak mendengarkan celotehannya.

"Aku bukan playboy!" sahut Danzel tak terima. Bisa-bisanya Jane membeberkan kebiasaannya berganti-ganti wanita?

Jane tak peduli, yang terpenting ia membeli ponsel baru. Danzel kelewat batas sampai membantingnya kemarin.

'Aku simpan baik-baik ponsel pemberian ibu. Maafkan diriku yang tidak terlalu becus menjaga pemberian berharga ini,' batin Jane merasa bersalah. Kenangan satu-satunya hanyalah ponsel lamanya hancur berkeping-keping, layarnya rusak dan mati total. Dulu, Jane ingin menyelamatkan foto kenangan sang ibu, tapi apalah daya si jago merah melahap habis isi rumahnya, kayu-kayu lapuk juga runtuh menjadi arang yang gosong. Musibah besar, menghilangkan kenangan bermakna. Yaitu, album foto tentang dirinya juga moment dimana kebersamaan di abadikan setiap potret-nya.

Memasuki toko, Jane bingung. Ia tak begitu mengerti berbagai merk yang terpajang. Semuanya terlihat indah dengan layar bersihnya.

Menyadari Jane kebingungan, Robby berinisiatif untuk memberikan saran rekomendasi ponsel yang menurutnya baik dan awet saat di gunakan.

"Ponsel lipat ini saja Nona. Lebih menghemat tempat menyimpan, terutama tas Nona Jane kecil," menunjuk ponsel lipat berwarna ungu muda, menurutnya itu cocok di gunakan Jane.

"Wah! Ini, beda sekali. Yang lain bukan ponsel lipat. Emm," berpikir sejenak, dari segi design pasti di bandrol harga mahal. Tidak, ia haruslah berhemat. Uang tabungannya di bank itu khusus saat nanti setelah berpisah dengan Danzel, ia akan membuka lembaran baru dan mendirikan usaha kecil-kecilan. Lebih baik berhemat daripada boros membuang sebagian uang tabungan.

Robby mengernyit, raut wajah Jane berubah pias. "Kenapa Nona? Ini ponsel lipat keluaran terbaru. Warnanya cocok untuk Nona Jane. Ungu muda melambangkan kebahagiaan sederhana apa adanya."

Jane menggeleng. "Aku pilih design biasa saja," niatnya ingin menuruti saran dari Robby urung, mementingkan tabungan masa depan. Darimana lagi ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu satu hari saja? Pemberian mama Anette yang dermawan, merasa simpati dan ingin membantunya melunasi biaya pengobatan operasi ibunya. Tapi takdir berkata lain, Tuhan lebih dulu mengambil sang ibu, meringankan kesulitan Jane dalam perjuangannya mencari nafkah dan pekerjaan.

***

Jane dan Danzel di cegah masuk oleh mama Anette. Mereka berdua telah terlambat masuk jam kerja.

"Pukul berapa ini? Kalian baru datang?" tanya mama Anette marah, tak biasanya terlambat. Pastinya datang tepat waktu bahkan sebelum jam kerja di mulai. Semua itu atas kedisiplinan waktu Robby. Sengaja ia menyuruh Robby agar datang pada waktu yang sudah di tentukan. Tapi melihat hal yang tak biasa seperti terlambatnya Jane dan Danzel inilah perlu di jadikan sebuah pertanyaan besar. Siapa yang salah, Robby? Atau Jane dan Danzel?

Jane melihat arlojinya, tenggorokannya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan mengintimidasi mama Anette.

"Pukul sembilan lebih limabelas menit," jawab Jane dengan suara lirihnya setengah berbisik, mungkin mama Anette tak akan mendengarnya. Mata Jane terpejam sejenak, ia tak siap mama Anette marah. Semua ini karena salahnya yang terlalu lama membeli ponsel baru. Belum lagi Robby memaksanya agar memilih ponsel lipat ungu muda itu.

"Darimana?" menghiraukan jawaban Jane, Anette ingin tau apa yang membuat keduanya sampai terlambat satu jam lebih?

Danzel tersenyum miring, inilah saatnya mengadukan kelalaian Jane. Sebagai bentuk balas dendamnya karena Jane sudah berani menguntitnya bahkan merekamnya secara diam-diam.

"Jane beli ponsel baru. Dia terlalu boros, padahal ponsel lamanya masih layak di gunakan," jawab Danzel mewakili keterdiaman Jane. Rasakan saja amarah mamaku batinnya dalam hati.

"Memangnya ponsel lamamu kenapa? Kinerjanya lambat? Atau penyimpanan memorinya penuh?" bukannya marah, nada bicara Anette berubah lembut, hanya jepada Jane ia menurunkan rasa marahnya. Jane seperti anak kandung perempuannya. Sejak dulu, keinginannya memiliki anak perempuan tak pernah tercapai. Lalu, menemukan perempuan sebaik Jane, dirinya menganggap Jane sebagai anaknya sendiri. Ingin merawat Jane sepenuh hati di masa tuanya. Ia tak menginginkan perempuan diluaran sana yang rata-data hanya mengutamakan harta warisan Danzel, tergiur dengan kekayaan di bandingkan cinta tulus sepenuh hati.

Helaan nafas lega, Jane pikir mama Anette memarahinya habis-habisan, nyatanya tidak.

"Memori penyimpanan penuh. Kinerjanya juga melambat, aku tak bisa membuka aplikasi," memaksakan senyumannya, Danzel memang tak bisa menjaga mulutnya. Ia sendiri belum membocorkan perbuatan Danzel tentang ke-playboyannya.

Anette mengangguk mencoba mengerti alasan Jane.

"Lebih baik Robby saja yang membelikannya. Kau tidak perlu beli sampai lupa waktu. Lain kali biar Robby mengurusnya," tak ada lagi raut marah di wajahnya. Anette tersenyum hangat kepada Jane.

'Apa-apaan ini? Jane di bela? Bukannya terlambat lebih satu jam ada hukuman?' batin Danzel merasa tidak suka, kenapa mamanya begitu mudahnya memaafkan Jane? Memaklumi keterlambatannya karena membelu kebutuhan pribadi?

"Ma, Jane di hu-" ucapan Danzel tersela oleh sang mama.

"Menghukum Jane? Tidak perlu. Dia hanya tak sengaja. Kali ini mama maafkan."

Berusaha tetap sabar, Danzel melangkah pergi. Mamanya sudah terlanjur sayang kepada Jane. Bahkan lupa anaknya siapa.

***

"Lama sekali. Biasanya jam segini dia membalas pesanku," merasa kesal karena Gabriela belakangan ini tidak mengabarinya. Lebih dari dua hari yang lalu. Hati Danzel tidak tenang dan merasa gelisah.

"Gabriela berubah. Mencurigakan, tak ada menagih uang atau di temani belanja ke mall," memikirkan Gabriela tengah mengandung di usia awal, tak bisa membiarkannya sendirian. Rasa khawatir Danzel mendominasi. Meskipun ia masih marah dan kecewa dengan anak yang di kandung Gabriela belum ia ketahui. Gabriela tetaplah sahabat masa kecilnya.

"Aku coba telepon. Mungkin Gabriela sibuk," menekan nomor Gabriela, menunggu panggilan terhubung. Tapi justru nada tunggu terlalu lama, hingga operator mengatakan jaringan sibuk.

"Sibukmu sampai melupakanku. Apa-apaan ini? Dia lupa huh? Hampir menghabiskan uang sakuku selama di Surabaya," menatap nyalang layar ponselnya, menampilkan sederet nomor Gabriela dengan foto profil Gabriela tersenyum manis merangkul bahunya. Sangat romantis. Foto itu diambil ketika baru bertemu Gabriela dan saling mengenal.

"Jangan sampai kau kabur dan pulang ke Surabaya," beranjak dari duduknya, Danzel harus pergi ke rumah kosong dimana Gabriela tempati untuk sementara waktu.

Melihat situasi kantor yang sedikit sepi, Danzel berhasil keluar dengan meminjam topi dalah salah satu office boy.

"Itu bukannya Mas Danzel? Mau kemana dia?" herannya karena Danzel langsung merampas topinya saat sedang mengepel.

"Aduh, kalau nanti ada yang bertanya dimana Mas Danzel. Siapa yang jawab?" gelisahnya takut. Matanya menatap ujung tembok disana ada CCTV. Habislah riwayatnya, kalau begini tidak ada kemungkinan lolos berbagai macam pertanyaan dari Anette.

"Jujur atau pura-pura tidak tau?"

Menghindar juga percuma karena CCTV sudah memantau Danzel pergi dan dirinya membiarkan Danzel keluar kantor di jam kerja tanpa sepengetahuan Anette dan karyawan lainnya.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang