Episode 82

65 5 2
                                    

Semakin jauh, Stella berusaha mengejar langkah cepat Danzel. Tak akan di biarkannya Danzel pergi bahkan tidak sudi lagi mengenalnya hanya karena mengidap suatu penyakit.

"Danzel! Tunggu dulu! Aku belum selesai berbicara! Danzel! Pleasee!" mohon Stella suaranya terdengar putus asa. Ingin menyerah tapi Danzel adalah laki-laki berharga yang pernah ia kenal pertama kalinya. Sekejap mata Danzel berubah usai putus, sikapnya dingin, tak peduli, dan malas berinteraksi dengan dirinya yang sebagai mantan.

Danzel terpaksa menghentikan langkahnya.

Tidak mau kehilangan moment ini, tangan lancang Stella melingkari perut Danzel, memeluknya erat merasakan kehangatan disana.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Mari kita lalui bersama dan mengulangnya lagi dari awal. Kau bersedia?" meskipun Stella sendiri tidak yakin kalau nantinya Danzel akan menolaknya mentah-mentah juga kasar.

"Mengulanginya dari awal? Dengan sifat pemaksa dan ingin menangmu itu huh?" emosi Danzel kembali bangkit ke permukaannya, bisa-bisanya Stella semakin memperumit hidupnya? Bahkan menurutnya Stella adalah beban! Memaksa menikah, dan tidak mau mengalah selalu saja menyalahkannya padahal sudah jelas Stella yang telah bersalah. Ia tak mengerti bagaimana karakter wanita macam Stella.

"Sejak kita berpacaran. Kau mengenal apa saja sifatku. Kenapa kau sekarang tidak menyukai sifatku Danzel? Apa karena Gabriela jauh lebih baik? Atau Gabriela wanita penyabar? Tidak pernah mengatur-ngatur hidupmu begitu?" melontarkan beragam pertanyaan kepada Danzel. Cukup sudah ia mendiamkan hubungan Danzel terlalu lama bersama Gabriela. Ja masih belum mengetahui status sebenarnya antara Danzel dan Gabriela saat ini, apalagi kehamilan Gabriela.

"DIAM! HENTIKAN SUARA BERISIKMU YANG CEREWET ITU!" teriak Danzel frustasi, Stella semakin menambah beban pikirannya saja. Kepalanya terasa pusing, keluhan Stella tentang hubungan di masa lalu di ungkit-ungkit lagi.

Stella tersentak kaget, menatap nanar Danzel yang murka. Apakah dirinya salah? Memperbaiki hubungan yang sempat kandas karena kemauannya lebih memaksa Danzel untuk menikah lebih cepat daripada harus menunggunya dengan sabar? Wanita mana yang sanggup menunggu? Dirinya juga butuh kepastian.

"Dengarkan aku. Cerewetnya seorang wanita itu pertanda dia sayang, perhatian, peduli," menurunkan emosional Danzel, ucapan lembut keluar dari bibirnya. Hati Danzel memang keras, sulit untuk di luluhkan.

Kekehan remeh, Danzel berucap. "Kau bilang sayang? Perhatian? Peduli? Semuanya tidak ada lagi. Kita bukanlah siapa-siapa. Melainkan orang asing yang tidak pernah mengenal. Kalau saja aku pernah mengenalmu, sungguh aku menyesal. Aku kecewa dengamu. Sifatmu masih kekanak-kanakan," kalimat panjang lebar terlontar dari bibirnya menghancurkan hati Stella sehancur-hancurnya.

Membiarkan Danzel pergi, Stella terisak dalam diamnya. Sadarkan dirinya bahwasannya apa yang di katakan Danzel beberapa detik lalu bukanlah hal nyata, masih mimpi tak pernah ia duga sebelumnya.

"Janjimu palsu Danzel. Setia itu omong kosong. Mustahil hubungan kita bertahan sampai menikah, kata putus dan mengakhiri sebenarnya bukanlah keinginanku waktu itu. Tapi pikiranku berat, sedikitpun tak terlintas resiko jika kau benar-benar menyetujui keputusanku," tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, tangisannya menarik perhatian lalu-lalang orang, menatapnya heran juga prihatin.

Langkah bebas Danzel meninggalkan Stella adalah hal terbaik.

"Beruntungnya aku tidak mencintaimu terlalu dalam, kalau takdir buruk menimpamu dengan penyakit itu. Jujur saja, aku tidak sudi apabila harus memiliki seorang istri pengisap kista sepertimu Stella," menyetop taksi yang sedang melintas, lebih baik kembali ke kantor saja, mengenai satu jam lagi pulang.

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang