"Istri macam apa kau huh? Turuti saja apa mauku. Jangan membantah! Seharusnya kau menurut," suara Danzel meninggi menggema ke seluruh ruangan.
Jane tersentak. "Kau baru saja memarahiku? Memarahiku ya?" bibir Jane bergetar, tidak lama lagi ia menangis.
"APA?" tantang Danzel berani, sama sekali tidak ada rasa kasihan pada Jane yang setiap harinya menjadi pelampiasan amarahnya.
Jane terisak. "Kau adalah salah satu contoh pria arogan yang aku kenal sekali dalam seumur hidupku," tutur Jane pilu. "Dan kau, Danzel. Tidak ada kelemahlembutan sedikit saja padaku. Selalu marah, dan ingin melukaiku meskipun kau kerap kali mendorongku pelan. Aku tau," Jane mengangguk mengerti. Danzel menginginkan dirinya terluka terus-terusan.
"Keluar dari kamarku sekarang," usir Danzel sudah muak. Jane selalu saja mengungkit kesalahannya yang memang ia sengaja.
"Tadi kau bilang apa? Istri kan? Berati kau menganggapku sebagai istrimu," enggan pergi dari kamar Danzel, Jane tetap berbaring tidurnya di sebelah Danzel. Bibir Jane tersenyum getir, ternyata Danzel masih menganggapnya. Sungguh ini diluar dugaan.
"Aku tarik kata-kataku. Kau bukan istri atau siapapun," tatapan datar Danzel pada Jane, tidak ada kilatan cinta dan kasih sayang disana, hanya kebencian dan amarah saja.
"Pergi," sekali lagi Danzel mengusir Jane dari kamarnya. Namun Jane tidak mau pergi juga.
Tidak ada cara lain lagi kecuali Danzel memaksa Jane keluar dengan cara kasarnya.
"TIDAK MENURUTIKU YA? PERGI, KELUAR!" menarik paksa tangan Jane, istrinya itu pun terbangun dari rebahannya. Berdiri sedikit sempoyongan karena Danzel terlalu menariknya terlalu kuat.
"Arghh. Danzel, tanganku," rintih Jane kesakitan. Ia melihat pergelangan tangannya yang sudah memerah meninggalkan jejak cengkraman Danzel disana.
BRAK.
Membanting pintu kamar hingga berdebum, Danzel marah dan memilih berdiam diri di dalam kamarnya.
Satu tetes air mata Jane, hingga tetesan air mata yang lainnya membasahi kedua pipinya. Jane menangis tersedu-sedu. Mengusap pergelangan tangan kirinya yang terasa sakit. Danzel kasar.
"Ibu, tanganku sakit," Jane mendudukkan dirinya di sofa panjang, tempat tidurnya selama ini semenjak menikah dengan Danzel. Tidak ada ranjang atau kamar, melainkan ruang tengah di depan televisi.
"Kenapa Danzel sejahat ini? Aku hanya bertanya baik-baik tapi Danzel langsung emosi padaku. Dimana kesalahanku?" tanya Jane pada dirinya sendiri.
"Aku bingung kalau di bulan ketiga harus bilang ke mama Anette mengenai janinku sudah gugur," pikiran Jane bingung, bibirnya pun pucat karena belum memakan sesuap nasi sejak tadi. Danzel tidak mengingatkannya makan, apalagi minum.
Jane menengadah. Ia berdoa kepada Tuhan. 'Bantu aku, beri aku kesabaran dan sanggup bertahan dengan semua ini. Karena aku ingin menjalankan amanah ibu. Yaitu mencintai seorang suami selama-lamanya, tanpa ada titik yang berhenti atau spasi sebagai menjauh,' batinnya. Ia pasti sanggup, demi Ellen, ibunya.
***
Pagi ini, Jane berangkat sendiri lebi awal. Bahkan jam 5 ia sudah siap pergi ke kantor. Daripada harus berangkat bersama Danzel. Semenjak pertikaian kemarin, Jane ingin menenangkan hatinya sejenak. Setelah itu ia akan kembali bersama dengan Danzel. Karena Jane tak bisa marah, apalagi berbicara nada tinggi kecuali Danzel sudah di ambang batas.
"Lebih cepat sedikit ya pak," ucap Jane saat sudah masuk ke dalam taksi. Biarlah Danzel berangkat sendirian bersama Robby dan bodyguardnya yang lain.
"Baik nona," sang supir mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...