Episode 85

93 4 1
                                    

Hi Readers, mungkin kalimat cerita ini bisa di jadikan quote sebagai perwakilan isi hati kalian😊

Di tatap teduh seperti itu membuat Jane tidak nyaman. "Seharusnya tadi aku mati saja. Hidup adalah kesia-sian," ujarnya putus asa. Hidup berjuang sendirian, bahkan jauh dari kata bahagia. Ia juga merindukan sosok mendiang ibunya diatas sana. Sudah terhitung dua bulan lalu lamanya.

Kedua alis Danzel mengernyit. "Karena aku tidak mencintaimu?" tanyanya menebak isi pikiran Jane. Ia mengerti istrinya itu menyerah, tak lagi mempertahankan cinta rumah tangganya.

Bibir Jane yang pucat tersenyum tipis. "Ya," mengangguk setuju atas ucapan Danzel. "Untuk apa aku hidup sendirian tanpa ada secuil cinta dari orang terdekat?" pertanyaan penuh arti ini melekat begitu jelas bagaimana kehidupannya akhir-akhir ini. Selalu kesepian. Tak ada seorang pun yang mengerti beban hidupnya, baik itu menghibur atau menemaninya. Robby pun percuma, tidak mungkin ia membocorkan keluh kesahnya kepada ketua bodyguard yang tegas dan cerdas itu. Pasti segala informasinya nanti bocor kepada mama Anette. Ia tak mau di repotkan.

Danzel menghela nafasnya. Netra matanya menatap Jane dalam-dalam, berusaha menyelami kesedihan yang terbias oleh tangis. Mata Jane berkaca-kaca, mungkin satu kedipan dapat meluruhkan cairan bening bernama air mata.

"Maafkan aku," nada penuh penyesalan terlontar dari mulut Danzel, sangat mudah usai menyakiti bertubi-tubi sampai Jane ingin mengakhiri hidupnya. Cinta se-menyakitkan itu. Terkadang adil juga tidak adil.

Terkekeh miris. Apa katanya tadi? Maaf?

"TAU APA KAU TENTANG MAAF? TAU APA!!" suara Jane yang meninggi memantul ke setiap sudut kamar Danzel, lantang dan keras. Danzel sampai terlonjak kaget istrinya berani membentaknya.

"Maaf adalah, suatu penyesalan yang tidak di ulangi satu dua kali, ataupun seterusnya. Maaf itu memperbaiki diri. Bukan mengulanginya tanpa sadar atau di sengaja. Dirimu paham arti maaf?" bibir Jane terangkat membentuk sebuah senyuman gila. Terkadang setiap orang menyepelakan kata maaf, sesal sekali tapi di ulangi seolah-olah itu hal wajar namun sedang dalam keadaan sadar.

"Aku harus apa? Maaf yang bagaimana agar kau bisa menerima diriku kembali Jane?" suara serak terdengar begitu pilu, Danzel memelas. Ia menyesal telah membuat Jane sampai di titik sehancur ini. Sangat jarang melihat Jane bahagia, hari-harinya selalu di dominasi wajah tanpa ekspresi. Terkesan monoton.

"Jikalau aku memberimu kesempatan, apakah kau gunakan sebaik-baiknya? Atau justru di jadikan mainan?" satu alis Jane terangkat, tampaknya Danzel sedang berpikir mempertimbangkan kalimatnya yang baru saja terucap itu. Pasti sulit Danzel memutuskannya.

Sampai waktu berjalan lebih dari 15 menit lamanya, Jane menguap. Matanya terasa berat ingin sekali tidur lebih cepat daripada menunggu jawaban Danzel.

"Aku gunakan sebaik-baiknya. Aku janji," jawaban meyakinkan dari Danzel terdengar meragukan di telinga Jane. Benarkah itu? Terkadang sikap Danzel dapat berubah berbanding terbalik dengan apa yang di ucapkannya. Terutama berjanji bersungguh-sungguh. Hati gampang berbalik, sangat sulit di tebak.

"Meragukan," Jane mengerti Danzel hanya berusaha meyakinkannya kembali, setelah berhasil yakin kemudian Danzel menghancurkannya lagi.

"Aku pasti buktikan itu sayang," Danzel sedikit gelisah saat Jane beranjak dari ranjangnya, istrinya itu memilih tidur di sofa lagi. Tak mau membiarkan sang istri tidur sendirian lagi.

"Kau mau kemana?" tanya Danzel melihat Jane yang melangkah namun terhenti diambang pintu kamarnya. "Kita tidur seranjang. Berdua. Bukan sendiri," nada lembut memabukkan itu pasti meluluhkan amarah Jane yang sekarang. Sejak dulu Jane mengharapkan tidur di kamarnya. Mustahil Jane menolak.

"Tidur bersamamu?" tertawa merasa lucu, benarkah ini seorang Danzel? Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba Danzel memintanya tidur seranjang? Apakah Danzel masih sehat?

"Ya," angguk Danzel, tanpa menunggu lama, di tariknya tangan Jane hingga sang istri terjatuh diatas ranjang tidurnya. Tak tinggal diam, Danzel segera mengunci pintu kamarnya, menyembunyikan kunci itu di saku bajunya. Semoga saja Jane tidak melihat.

"APA-APAAN KAU MENARIKKU?" geram Jane tidak suka, di elusnya pergelangan tangan yang terasa sakit, tarikan sekaligus cengkraman Danzel tadi begitu kuat. "Kau kunci?" segera bangkit dan mencoba membuka pintunya, hasilnya tidak bisa.

Danzel menampilkan senyum smirk-nya. 'Kau lucu saat panik begini. Bolehkah aku menerkam dirimu malam ini?' batinnya mulai tergoda, terakhir kali menuntaskan kebutuhan biologisnya kepada Jane saat bulan madu ke Perancis, itupun karena paksaan Jane padahal sudah jelas dirinya menolaknya mentah-mentah. Sayangnya rasa nikmat dan kepuasan tidak ia dapatkan.

Danzel berdiri tepat di belakang Jane. Tangannya meraba ritsleting baju Jane, membukanya perlahab-lahan.

Jane yang merasakan ada yang bergerak di balik punggungnya pun  tau bahwa itu ulah tangan Danzel.

Di tepisnya tangan nakal Danzel. Jane melotot tidak suka. "Singkirkan tanganmu. Untuk apa kau membuka bajuku?" tanya Jane menyipit curiga, pasti Danzel sedang berubah menjadi orang yang berbeda, tidak mungkin itu atas perintah dorongan dari pikiran Danzel sendiri.

"Kau gerah? AC-ku rusak," mencari-cari alasan yang tepat supaya istrinya itu melepas atasan pakaiannya sekarang, ya meskipun tidak mungkin karena suasana hati Jane tidak baik, masih dilanda oleh emosinya.

Jane menggeleng. "Udara malam ini cukuplah dingin. Tidak perlu menyalakan AC," alih-alih mulai mengerti Danzel akan meminta sesuatu, sebisa mungkin ia menghindarinya. Bisa jadi itu bujuk rayu Danzel yang berusaha menjebaknya agar kembali lagi terlena dan mencintainya.

Jane tetap berdiri disana, sama sekali enggan melangkah. Jika ia kembali merebahkan dirinya diatas ranjang, besar kemungkinan Danzel akan melakukan hal itu. Mengenai sorot mata penuh hasrat dibalik netranya sangat jelas bahwa Danzel sedang mati-matuan menahan nafs*nya.

Danzel duduk di tepi ranjang, menatap sang istri yang masih betah berdiri di pintu kamarnya.

"Masih ragu?" tanyanya heran. Meyakinkan Jane kembali bukanlah hal mudah yang ia pikirkan sebelumnya. Menghancurkan kepercayaan seseorang sedang mencintai sepenuh hati, lalu kepercayaan itu di hancurkan lagi dengan kebohongan. Cinta semenyakitkan itu dibalik kata indahnya cinta.

Jane tak menjawabnya. Bibirnya terbungkam. Sebisa mungkin matanya tidak bertuburukan dengan binar memohon dari Danzel. Ia tak boleh kasihan.

Sudah satu jam berjalan lamanya, Jane memilih tetap berdiri disana. Matanya diserang rasa kantuk, sesekali terpejam dan kepalanya menunduk. Jane berusaha terjaga.

Danzel yang mengamati sang istri mengantuk, berinisiatif mengangkat tubuh Jane ke ranjangnya.

"DANZEL! TURUNKAN AKU!" berontak Jane kakinya menendang-nendang, Danzel tak peduli. Merebahkan tubuhnya di ranjang empuk, kemudian Danzel ikut merebahkan diri di pinggiran ranjang. Berjaga-jaga jika Jane ingin kabur.

Tangan kekarnya menarik pinggang Jane ke dalam pelukannya. Tidak lupa tangan bebasnya yang lain menarik selimut menutupi sebagian tubuhnya juga Jane.

"Tidurlah. Jangan sampai malam ini dirimu begadang. Besok kita berangkat bersama," bisikan suara berat itu menggelitik di telinga Jane. Wanita bertubuh kurus terperangkap dalam pelukan hangat seorang Danzel, laki-laki yang kerap kali menarik-ulur perasaannya.

'Aku tak bisa menerimamu kembali Danzel. Untuk apa? Aku bertahan denganmu selamanya? Dan rencanaku akan gagal yang tadinya berpisah?' batinnya merasa dilema, selalu saja begini. Danzel tidak mau membiarkannya pergi, dan melepaskan status istri yang sejauh ini menginjak 3 bulan lamanya.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang