Episode 69

81 5 1
                                    

"Aduh, Jane kenapa berisik sekali sih? Apinya juga, tak bisa padam meskipun aku menginj4knya," keluh Danzel semakin membuat kepalanya pusing.

"Danzel! Buka pintunya! Kau sedang apa di dalam?" menggedor pintu kamar Danzel tiada hentinya, apalagi tadi Jane mendengar Danzel berucap padamlah seperti panik ada sebuah api di dalam kamarnya. Hati Jane tak bisa tenang, ia khawatir Danzel kenapa-napa dan celaka.

"Ok," mengangguk paham, Danzel tak kunjung membukakan pintu kamarnya, tidak ada cara alternatif lagi selain mendobrak kuat. Dirinya memang perempuan, sulit untuk mendobrak sebuah pintu dan berhasil menjebolnya, tapi kekuatan sepenuh tenaga dalam tubuhnya belum lagi emosi yang mengendalikan pikirannya, semakin yakin bahwa ia bisa.

BRAK!

Pintu berhasil terbuka, meskipun di bagian bahu dan tangannya terasa sakit dan ngilu akibat pintu kayu yang terlalu keras.

"DANZEL! ITU API!" pekik Jane telunjuknya menuding api yang akan merembet ke tempat tidur Danzel. "CEPAT PADAMKAN!" teriak Jane tidak sabaran.

"Kau hanya bermodal teriakan. Tapi tak mau berniat membantuku?" bukannya menuruti perintah Jane, Danzel memarahi istrinya.

"MINGGIR!" mendorong Danzel menjauhi api sedikit demi sedikit mulai berukuran sedang, akan membesar dalam waktu cepat. Jane melepas sweater-nya. Menjatuhkannya diatas kardus, menginj4k apinya dengan penuh emosi. "Kau ceroboh! Kamarmu bukanlah tempat pembakaran sampah!" rasa panas tidak menyentuh kulit sandalnya, Jane tak merasakan apapun.

"Kalau memang kamarku bukan tempat pembakaran sampah, bersihkan semua ini," titah Danzel bak seorang Tuan Rumah kepada pembantunya.

"Sampahmu, adalah kertas DNA kekasih barumu kan?" tak menghiraukan perintah yang di berikan oleh Danzel, justru Jane ingin menanyakannya langsung kepada Danzel perihal siapakah kekasih baru Danzel dan apa statusnya.

Danzel terpaku, bagaimana bisa Jane tau kalau kertas yang baru saja ia bakar adalah kertas DNA milik Gabriela?

'Mungkinkah Jane tadi menguping?' batin Danzel bertanya-tanya. Tapi mengingat kembali Jane membawakan permintaan makanan yakni nasi goreng, wajar saja Jane menguping, rupanya Jane memilih berdiam diri dibalik pintu mendengarkan keluh kesah amarahnya.

"JAWAB!" gertak Jane tak sabaran, Danzel justru diam tak bisa berkata-kata. Tertangkap basah sudah kebohongan terbesar Danzel.

Menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak menunjukkan kegelisahan di hadapan Jane.

"Itu kertas biasa. Tidak perlu kau tau," jawabnya berbohong. Jujur? Sama saja cari mati, Jane akan mengatakannya langsung kepada mama Anette serta ayahnya Galen.

"Kertas biasa ya?" senyum masam Jane sebagai tanda tak percaya dengan Danzel. "Kalau aku bertanya langsung kepada kurir paketnya?" sebelah alisnya terangkat, menantang Danzel untuk jujur.

"Silahkan. Lagipula tugas seorang kurir tidak lebih dari mengirim barang dan mengemasnya. Jangan campuri urusanku," jari telunjuk Danzel menuding tepat di depan wajah Jane, memberikan peringatan tegas kepada sang istri agar tidak terlalu mencari taunya lebih detail.

"Aku akan datangi langsung tempat pengiriman barangnya. Dan..." nafasnya memburu menahan gejolak emosinya. "Siapa yang mengirim barang itu," meletakkan sepiring nasi gorengnya di meja makan sedikit di banting.

'Mati aku, bagaimana ini? Ck, semuanya gara-gara Gabriela! Andai saja dia tidak perlu ke Jakarta demi menemuiku,' batin Danzel merutuki dirinya sendiri.

***

Tepat jam 1 malam, Danzel keluar diam-diam dari apartemennya, langkah yang mengendap-endap dan berhati-hati tanpa harus menimbulkan suara apapun.

Setelah berhasil keluar dan menghubungi Kevin, yang dulunya pernah membantunya saat ulang tahun Stella, sekaligus mencoba kabur.

"Halo Kevin. Kemarilah, aku butuh bantuanmu," mengakhiri panggilannya, Danzel menyetop taksi dan menyebutkan tujuannya. Yaitu, dimana Gabriela tinggal. Apalagi jika bukan sebuah gang kecil dan rumah kosong disana?

Ya, Gabriela lebih memilih tinggal di tempat sepi dan sempit seperti itu daripada harus memesan sebuah kamar di hotel atau menyewa kontrakan. Semua itu akan memakan biaya besar, Gabriela tidak akan sanggup membayarnya.

Danzel mengirimkan lokasinya saat ini kepada Kevin, agar rencananya kali ini akan berhasil.

***

Kedatangan Danzel yang terlalu tiba-tiba membuat Gabriela yang sedang duduk dengan kaki di silangkan, sibuk men-scroll layar ponselnya.

"Berani juga nyalimu. Sudah dua kali, aku akui suamiku hebat!" mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menatap Danzel duduk di kursi single tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Kenapa kau mengirimkan tes DNA? Sampai menggunakan jasa kirim paket? Kau gila!" memijit pelipisnya yang terasa pusing, nyatanya Gabriela lebih rumit daripada Stella.

"Biar istrimu tau. Kalau aku juga milikmu sayang," beranjak dari duduknya, jemari lentik Gabriela membelai pipi Danzel.

"Tapi aku tidak suka caramu. Berhati-hatilah, jangan terlalu ceroboh!" mendorong Gabriela agar sedikit menjauh, Danzel dibuat gugup setiap sentuhan membuai Gabriela.

"Permisi," suara Kevin yang terdengar gugup itu membuat Danzel dan Gabriela menoleh ke ambang pintu dimana Kevin berdiri disana masih memakai piyama tidurnya, terlihat cool dan tampan, pikir Gabriela.

"Masuklah," Danzel mempersilahkan Kevin melangkah ke dalam rumah kosong Gabriela.

"Kenapa aku datang ke tempat sempit begini? Dan kalian, berduaan di tengah-tengah malam begini?"

"Danzel, kau masih memiliki kewarasan kan?" Kevin menatap tak percaya, bukankah Danzel sebelumnya memiliki hubungan dengan Stella saja? Lalu, ini siapa lagi? Wanita cantik dan sexy terlihat nakal dan ingin menjamah tubuh Danzel.

"Kau jadilah suami pura-pura Gabriela. Esok, istriku akan pergi ke tempat kurir pengiriman barang, dia ingin tau dari siapa pengirimnya," ujar Danzel serius. Untungnya ia berpikir cepat mengatasi situasi mendesak ini. Dirinya tidak mau di cap sebagai playboy dan tukang selingkuh. Belum saatnya semua ini terungkap, menurutnya terlalu cepat.

Kevin tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Suami pura-pura? Semudah itukah nanti Jane percaya?" merasa ragu atas permintaan Danzel yang satu ini. Jane adalah wanita keras kepala. Jane pernah membantah pengakuan Stella dulunya sebagai kekasih Danzel di hari ulang tahun Stella saat itu.

Danzel mengangguk. "Pasti, dan aku jadikan kau suami bayaran. Hanya menjadi suami pura-pura kau menerima uang dengan mudah."

"Aku tidak mau. Dia siapa sayang? Laki-laki asing, aku hanya menginginkan dirimu," Gabriela menggeleng tak setuju atas kata-kata Danzel. Suami pura-pura? Itu berarti anak dalam kandungannya tidak akan mendapat warisan Danzel. Ia tak mau menyia-nyiakam kesempatan emas kehamilannya dari laki-laki lain ini. Tidak ada yang tau bahwa kehamilannya karena mantan kekasihnya tiba-tiba menghilang tanpa kabar usai meminta tubuhnya sebagai jaminan cinta dan sayang. Laki-laki brengsek! Tidak mau bertanggung jawab. Sekarang hidupnya menderita karena hamil lebih dulu. Tapi saat mendengar nama Danzel di suatu restoran saat itu, secercah harapan untuk bangkit dari keterpurukan membuat Gabriela semangat.

"Menurutlah, tolong jangan memperumit keadaan. Ini demi kenyamanan hidupku," nada lembut Danzel agar hati Gabriela luluh dan mau menyanggupi rencananya.

"Kalau aku menurutimu. Berarti diantara kita harus ada timbal balik," tak ingin berjuang sendirian, Gabriela juga menuntut Danzel untuk membuktikan seberapa besar cinta suaminya itu.

Menghela nafas lelahnya, syarat apalagi? Danzel sampai berani menikahi siri Gabriela diam-diam tanpa sepengetahuan Stella.

"Suatu saat anak ini lahir, harus mendapatkan 70 persen warisan darimu," sangat memberatkan dan membebani Danzel. Nominal besar yang pastinya tak terhitung jumlah berapa uang dan aset Danzel sebagai keturunan dari keluarga kaya raya.

Danzel terbelalak tak percaya. "Maksutmu apa? 70 persen?" ulang Danzel dadanya merasa sesak, matre sekali Gabriela ini. Ia pikir Gabriela akan meminta uang belanja shoping layaknya wanita-wanita sosialita diluaran sana, mementingkan membeli barang limited edition dan branded, tapi Gabriela terlalu muluk meminta kekayaan diluar batas.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang