Episode 10

328 11 0
                                    

Jane tersenyum miring. 7 orang bodyguard di anggap gampang mengalahkannya? Danzel terlalu percaya diri sekali.

"Kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan Stella lagi," telunjuk Jane menyentuh dada Danzel.

"Itu katamu," menyingkirkan jari mungil Jane. "Saat mereka tidur. Aku akan menginap di apartemen Stella," Danzel menunduk menatap Jane yang pendek. Sontak Jane mundur karena Danzel terlalu dekat, nafasnya terasa hangat.

'Aduh, bagaimana nanti kalau dia tiba-tiba menciumku seperti yang ada di film-film?' panik Jane dalam hatinya. Matanya terpejam, berharap Danzel menciumnya. Namun Jane tidak merasakan apa-apa bahkan hembusan nafas Danzel.

Jane membuka matanya, Danzel sudah pergi ke kamarnya.

"Jangan berharap kau bisa mendapatkannya. Mimpi!" seru Danzel berlalu, menutup pintu kamarnya sedikit di banting.

Jane berdecak kesal. Seharusnya ia tidak berharap saja tadi!

***

Jane bangun lebih awal, ia ingin tau keberangkatan suaminya itu.

"Halo?" suara Danzel yang menerima telepon dari Stella. Jane yakin seperti biasa Stella ingin mengajak suaminya keluar.

"Maaf Stella. Aku tak bisa menemanimu sarapan. Diluar rumah sudah ada 7 bodyguard. Mereka di tugaskan oleh mama buat jaga aku," ucapan Danzel yang merasa bersalah karena tak bisa menemui Stella.

Jane mendengar itu tersenyum senang. Akhirnya Danzel tak bisa kelayapan dengan Stella. Mama Anette memang perfect! Jane tidak perlu gelisah lagi tentang Danzel yang justru diam-diam berkencan dengan Stella.

Setelah Danzel mengakhiri teleponnya, Jane kembali berpura-pura sarapan.

Melirik Danzel dari ujung ekor matanya, Danzel bersiap akan berangkat.

"Tunggu!" spontan Jane setengah melantangkan suaranya. Langkah Danzel sontak berhenti.

"Kita berangkat bersama. Jangan ada penolakan. Kau tau kan 7 pria disana yang sudah siap menghajarmu?" Jane mendekati Danzel. Ia menggoda sang suami. Pasti Danzel tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan mama Anette.

Danzel menghela nafasnya. "Ini namanya pemaksaan!" kesalnya ingin sekali menolak, tapi karena adanya bodyguard kirimam sang mama tak bisa melakukan apa-apa. Ucapannya kemarin hanya bohong, ia tidak begitu mahir dalam seni beladiri.

Saat keluar, salah satu bodyguard berkulit putih dengan rambut pirangnya menyapa Jane.

"Nona hari ini cantik sekali. Sayangnya sudah bersuami," sapanya menggoda. Nadanya di buat selembut mungkin agar targetnya terpesona.

Danzel mengepalkan tangannya. Berani sekali bodyguard itu menggoda istrinya. Ada perasaan tidak suka dan kesal.

Jane mirik Danzel, wajahnya berubah marah. Ia mengerti Danzel tengah di landa cemburu.

'Danzel itu hanya bermain dengan ucapan saja. Buktinya, dia membatalkan rencananya untuk menginap di apartemen Stella,' batin Jane menggerutu kesal.

"Nona namanya Jane Margareth ya? Perkenalkan, aku Robby Tampan," tanpa sungkan Robby mengulurkan tangannya berharap di jabat oleh Jane. Namun beribu sayang Danzel menyigkirkan tangannya secara kasar. Robby kikuk, Tuannya kalau marah menyeramkan juga.

'Mungkin, dengan aku mengandalkan Robby, Danzel akan menunjukkan kecemburuannya,' batin Jane yang memiliki sebuah rencana.

***

Berjalan beriringan. Danzel dan Jane seperti Raja dan Ratu yang harus di kawal. Semua karyawan disana menatap takjub Danzel karena pesona tampannya. Jane tidak ada apa-apanya seakan menjadi objek yang mengganggu pemandangan mereka.

"Nona kenapa jalannya lambat?" tanya Robby sangat perhatian. Ia begitu peduli dengan Jane.

"Oh, tadi aku hanya makan satu sendok nasi. Aku baik-baik saja," ujar Jane tersenyum ramah kepada Robby.

Danzel berdehem. "Sebentar lagi memasuki lift. Tidak di perbolehkan ada yang berisik," tanpa pikir panjang Danzel membuat peraturan baru, ketuju bodyguardnya terheran-heran dengan perintah sang Tuan-nya.

Jane menatap Danzel heran.

Di dalam lift, dua orang karyawan masuk. Mereka berdua ngobrol.

"Nanti malam kau nonton lagi film drakornya?" tanya seorang peremuan berponi.

"Pasti. Kau tau? Kasihan sekali istrinya tidak di cintai oleh suaminya. Dan selanjutnya mereka berpisah. Anaknya juga terlantar," kata perempuan yang tingginya hanya sebahu saja.

"Kisah itu mirip dengan Nona Jane," gumam Robby lirih namun terdengar oleh Danzel.

"Memangnya kenapa kalau mirip? Lagipula kia belum memiliki seorang anak. Kisah itu sama sekali tidak mirip denganku dan Jane!" tekan Danzel kesal. Robby terlalu buru-buru mengambil kesimpulan.

"Pak Danzel belum memiliki anak? Tapi kalian pasti sudah melakukannya di malam pertama bukan?" tanya si perempuan poni menggoda Danzel.

"Diamlah!" seru Danzel emosinya memuncak. Sontak mereka pun diam. Takut bila amarah Danzel semakin menjadi-jadi.

Jane ingin tertawa saat itu juga. 'Danzel kalau marah mirp sekali dengan banteng. Wajahnya merah tapi sayangnya kurang dua tanduk saja,' batinnya bergosip.

Terkekeh membayangkan Danzel memiliki wajah menyeramkan seperti itu.

"Suaranya sangat menganggu. Apa ada yang lucu?" alis Danzel berkerut. Jane masih saja terkekeh.

"Nona Jane. Tuan Danzel bertanya. Jawablah," bisik Robby.

Jane berdehem. "Ehemm. Oh, itu tadi ada nyamuk terbang," kilah Jane membuat kebohongan tak masuk akal.

Danzel menggeleng heran. "Nyamuk terbang, renang atau apalah itu tidak lucu," langkah lebar Danzel lebih dulu keluar dari lift.

Dua karyawan tadi akhirnya tertawa lepas.

"Ya ampun Jane. Kau ada-ada saja."

"Dia tidak akan bisa tertawa kecuali bersama Stella."

Jane menyimak baik-baik. Ia bingung harus menanggapinya bagaimana.

"Oh, ya. Danzel memang dingin. Aku permisi," Jane tertinggal jauh. Danzel enggan menunggunya. Menyebalkan sekali.

***

"Ini untuk Nona Jane. Makanlah," Robby memberikan semangkuk salad buah untuk Jane.

"Terima kasih," tersenyum pada Robby. Baik sekali salah satu bodyguard Danzel itu. Andai saja ia menikah dengan robby, pasti hidupnya terjamin bahagia.

"Sama-sama," Robby duduk menghadap Jane. Ia dan Jane berada di kantin. Kata mama Anette, ia harus menemani jane karena biasanya makan seorang diri.

"Danzel kemana?" tanya Jane sebelum memakan salad buahnya. Rasanya tidak tenang saja mendapatkan kabar Danzel.

"Danzel masih ada di ruangannya. Tadi sudah saya suruh makan api gak lapar," kata Robby.

"Begitu ya? Biar aku saja yang memaksanya," Jane bangkit dari duduknya. Meskipun Danzel terkesan galak akhir-akhir ini. Namun tugas sebagai seorang istri haruslah di jalankan.

"Nona Jane! Nona mau kemana?" Robby mengikuti langkah Jane.

"Menyuruh Danzel makan. Dia memang bandel. Susah sekali. Masakanku saja tidak di makan sampai basi. Kau tau? Asyik telponan dengan kekasihnya Stella," jelas Jane dengan perasaan dongkolnya.

Robby tersenyum. "Nona Jane cemburu?" tanyanya usil.

Seketika Jane menoleh. Matanya melotot galak. "Apa? Cemburu? Mimpi! Danzel saja tidak mencintaiku. Untuk apa cemburu? Tidak ada gunanya," Jane terus menggerutu. Sampai tidak sadar orang yang tengah oa bicarakan sudah berdiri di hadapannya dengan bersidekap dada.

"Stella itu menyebalkan. Dia menyuruhku membuatkan teh. Danzel juga tak menganggapku sebagai seorang istri. Melainkan asisten saja!"

"Bagus kalau kau sadar apa posisimu," suara Danzel menyahut. Sontak Jane menoleh dan terkejut melihat kehadiran Danzel.

"Kau! Menguping?"

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang