"Danzel! Tolong ini apa yang ada di bajuku!" suara Stella memekik. Sampai pengunjung disana memperhatikan Stella heran.
"Coba aku lihat," tangan Danzel berniat akan membuka ritsleting baju Stella namun suara Jane yang tegas itu mengejutkannya.
"Wah! Bagus ya. Rencanamu sangat bagus!" Jane bertepuk tangan mengakui kecerdasan yang di miliki Danzel.
Tidak mengerti akan maksud Jane. Danzel bertanya. "Apa?" ia berpura-pura tidak tau.
"Kau mengempeskan ban mobil baruku. Agar bisa berkencan dengan Stella di restoran yang sama. Tega sekali," Jane menggeleng. Matanya berkaca-kaca, ia ingin menangis namun air matanya seakan habis hanya menangisi Danzel.
Berdiri dari duduknya. Danel berkata. "Sadarlah. Kau bukan siapa-siapaku. Mamaku hanya kasihan padamu. Karena kau tidak mempunyai uang mencukupi. Mamaku sudah baik sampai memberikan posisi menjajikan dengan gaji dua kali lipat dari karyawan yang lain. Seharusnya kau senang. Tapi selain uang, kau juga mengharapkan sebuah cinta," jelas Danzel panjang lebar.
"Danzel! Ini apa! Tolong singkirkan dari dalam bajuku! Geli sekali!" kembali histeris, Stella menggeliat. Pasti di dalam bajunya ada serangga disana. Entah darimana asalnya bisa masuk.
Jane tersenyum senang. Melihat Stella merasa geli sendiri karena serangga di punggungnya.
"Aku berangkat dulu. Urusi saja Stella-mu," pamit Jane namun tangannya di cekal oleh Danzel.
"Tunggu! Ini pasti ulahmu kan?" tuduh Danzel menyipit curiga. Jika bukan Jane siapa lagi? Istrinya itu tidak suka dengan Stella.
"Apa? Ulahku? Kau jangan asal menuduhku Danzel! Memangnya ada bukti huh?" protes Jane tidak suka. Bahkan di restoran ini hanya suaranya Jane menggema. Sangat sunyi, mereka fokus menyaksikan perdebatannya dengan Danzel.
"Jane keterlaluan sayang," Stella menunjuk Jane. "Danzel, tolong keluarkan hewan bergerak yang ada di punggungku ini," pinta Stella kembali manja.
"Berdirilah. Jangan duduk, mungkin serangganya akan jatuh," titah Danzel. Stella pun berdiri, berharap sesuatu yang bergerak-gerak di balik punggungnya itu keluar.
"Sayang, aku takut," tangan Stella melingkari perut Danzel, memeluknya erat seakan hanya Danzel saja pelindungnya.
Jane jengah melihat pemandangan itu. Ia lebih baik pergi ke kantor saja. Biarlah mama Anette tau bahwa Danzel sedang bersama Stella.
***
"Mama kecewa sama kamu Danzel. Seharusnya Jane berangkat bersamamu. Tapi? Jane berangkat bersama Robby naik taksi. Dan ban mobil Jane kempes karena ulahmu!" omel Anette kesal. Ia berada di ruangan Danzel, kebetulan disana ada Jane. Tadinya Jane ingin keluar karena sudah menyelesaikan tugasnya. Anette sengaja menahannya disini.
Danzel melirik Jane yang hanya diam dengan wajah tenangnya. 'Lagi dan lagi dia mengadu. Mama sekarang semakin membenci Stella. Tidak ada jeranya istriku,' batinnya kesal.
"Mama ingin kalian dalam waktu dekat berbulan madu. Saat pulang nanti, mama berharap kalian saling mencintai satu sama lain. Jangan lupa berikan mama cucu," Anette tersenyum menggoda pada Danzel, putranya itu tampak keberatan dari wajahnya.
"Jane setuju? Berbulan madu?" tanya Anette. Jane tidak banyak bersuara, hanya mendengarkan tanpa melihat Danzel. Ia tau, Jane sedang bertengkar dengan Danzel. Apalagi kalau bukan perkara Stella?
Jane mengangguk. Justru itu lebih baik, Danzel tak bisa kabur kemana-mana. Selama tempat bulan madunya jauh. Sangat sulit untuk Danzel menemui Stella.
"Lusa kalian akan berbulan madu ke Perancis. Bagaimana? Jane? Kau suka? Atau pilih saja negaranya semaunu," kata Anette. Mungkin saja Jane ingin berkunjung ke negara impiannya sejak kecil. Dan Anette akan mewujudkannya sekarang.
"Eum-aku," Jane bingung. Ia tidak begitu tau tentang negara luar.
Danzel menatap Jane bosan. "Ma, Jane saja tidak mau. Batalkan saja bulan madunya. Aku tidak memaksa Jane untuk pergi ke Perancis. Pasti dia mabuk perjalanan," membuat alasan klise agar mamanya tidak perlu menawari Jane bulan madu. Danzel sangat menghindari hal itu.
'Apa-apaan Danzel? Justru bulan madu adalah hal baik yang semestinya di jalankan pasangan agar di karuniai anak dan hubungan semakin harmonis,' protes Jane dalam hatinya.
"Jane? Apa kau merasa keberatan dengan bulan madu ini?" tanya Anette. Jane mengerjap pelan, menantunya itu sedang berpikir membuat keputusan.
"Tidak ma. Aku justru senang bisa pergi jalan-jalan keluar negeri bersama Danzel," bibir Jane merekahkan senyuman. Kapan lagi bisa berduaan dengan Danzel tanpa ada gangguan dari Stella?
"Apapun tempatnya, aku menyukainya. Akan terasa indah selama bersama Danzel," melirik Danzel yang balas menatapnya sinis. Menyeramkan sekali suaminya itu.
"Lihat Danzel. Jane mau berbulan madu. Ah, kalau begitu mama minta cucu laki-laki ya. Semoga kalian berhasil," pamit mama Anette berlalu. Ia mengedip pada Danzel, menggoda sang putra.
'Mama kenapa sih? Memaksaku agar mempunyai anak dari Jane? Seharusnya Stella!' protes Danzel dalam hatinya. Lagipula berbulan madu pun, Danzel tidak akan dekat dengan Jane. Ia akan memesan kamar terpisah dari Jane.
"Kenapa kau masih tersenyum disitu? Pergilah! Kembalilah bekerja!" gertak Danzel emosi. Senyuman Jane pudar, menatapnya sinis dan berlalu pergi.
***
Karena bulan madunya lusa, Jane menyiapkan segala pakaian dan keperluannya dari sekarang.
Jane berada di kamar Danzel. Sebagian pakaiannya ada di lemari Danzel. Mama Anette yang telah mengaturnya usai pernikahan waktu itu.
Danzel yang baru saja keluar dari kamar mandinya melihat Jane ada di kamarnya spontan berteriak.
Jane menoleh, melihat Danzel hanya memakai handuk sebatas pinggangnya. Dada bidang kotak-kotak itu membius Jane jatuh dalam tatapan tanpa kedipnya.
"KELUAR KAU DARI KAMARKU!" usir Danzel sangat marah. Ia menarik tangan Jane agar berdiri.
"Kenapa keluar? Aku ini istrimu. Tidak apa-apa aku disini. Bahkan saat kau ganti baju," ucap Jane polos.
"Berharap melihat tubuhku? Kau sudah gila Jane!" murka Danzel. Ia menarik Jane, membawanya keluar dari kamar. Danzel langsung mengunci pintu kamarnya. Nafasnya memburu, Danzel masih syok. Bisa-bisanya Jane menerobos masuk ke kamarnya?
Tatapan Danzel terpaku pada sebuah koper sedang yang sudah terisi pakaian terlipat rapi. Danzel yakin itu milik Jane.
Di balik pintu, Jane terus menggedor pintu kamar Danzel.
"Kau jangan menyentuh koperku ya! Itu sudah rapi! Jangan di acak-acak!" setengah berteriak berharap Danzel mendengarkannya.
"Danzel! Jangan sentuh kopernya!"
Setelah memakai baju biasa dengan rambut sedikit basah. Danzel membuka pintu kamarnya. Suara Jane sangat berisik sekali.
"Suaramu itu membuat telingaku sakit," protes Danzel kesal.
Jane mengintip kopernya di dalam kamar Danzel. "Apa kau menyentuhnya?" tanyanya menyipit curiga.
Danzel tak menjawab. Ia mendorong Jane, menghalangi jalan saja.
"Danzel! Aku masuk ya?"
"Kau masuk? Harus bayar denda," ancam Danzel tidak suka. Jane tidak berhak memasuki kamarnya.
Jane menghentak kesal. "Danzel tidak adil. Lusa aku hanya membawa tangan kosong begitu? Tanpa koper pakaian? Di pikir aku suka memakai baju berhari-hari tanpa mencucinya?" gerutu Jane kesal. Ia menurut saja daripada membayar denda, pasti Danzel memberikan nominalnya tidak main-main.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...