Episode 48

125 7 0
                                    

Stella tersenyum senang, biarlah sudah Danzel terpergok oleh Jane. Lagipula ini ajakan Danzel sendiri, bukan idenya.

"Berisik," mendekat ke ponsel Danzel, sengaja berbisik manja. Entah bagaimana reaksi Jane setelah ini.

"DANZEL! KENAPA ADA SUARA PEREMPUAN? KAU DENGAN SIAPA DISANA?" refleks Danzel meletakkan ponselnya diatas meja, para pengunjung restoran beralih menatapnya heran.

'Mulut Jane tak bisa sedikit pelan suaranya. Gara-gara Stella juga yang sengaja memancing amarah Jane. Mereka berdua rumit, huhh merepotkan,' batin Danzel merasa lelah sendiri.

"Danzel? Kau masih disana kan? Kenapa diam? Jawab dulu Danzel, itu suara siapa. Mirip Stella, oh atau jangan-jangan kau bersama Stella? Tidak beres...hm aku harus beritahu hal ini kepada mama Anette," berniat mengakhiri panggilannya, Danzel segera menahan Jane untuk tidak perlu buka suara kepada mamanya.

"Bukan Stella," jawab Danzel cepat, meluruskan dugaan salah Jane.

Sedangkan Stella sudah pergi, ia muak melihat interaksi mesra Danzel dan Jane tadi. Hatinya terbakar api cemburu. Lebih baik pergi dan menjauh daripada diam disana dengan hati yang semakin tersakiti.

"Jane, kau belum tau? Besok mama kesini. Ah...bukan, maksutku-" antara dilema juga ragu, mungkinkah ia terpaksa melibatkan sang mama? Padahal niatnya ke Surabaya adalah berlibur dengan Stella.

"Mama? Ke Surabaya? Kau sengaja beralasan lagi?" suara Jane sedikit tenang daripada sebelumnya yang di selimuti emosi menggebunya.

"Sudah ya Jane. Ada pelanggan yang harus aku layani," daripada terdiam tak bisa menjawab introgasi Jane, Danzel lebih memilih menghindar saja.

Jane yang teleponnya langsung di matikan oleh Danzel pun melempar ponselnya sembarang. Apa-apaan Danzel mengihindarinya? Ia tau Danzel tak bisa menjawab.

"Dimana Robby? Lama sekali dia. Membawa Daniel saja hampir memakan waktu satu jam lamanya," melihat jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Terbangun karena mimpi aneh yang di alaminya. Danzel akan menceraikannya.

"Permisi Nona Jane. Permisi?" suara Robby terdengar dari luar kamar Danzel. Segera langkah Jane menghampiri Robby, pasti membawakan Daniel kesini.

"Jane?" panggil Daniel, hatinya ikut kasihan melihat penampilan Jane saat ini. Kantung mata hitam menyerupai panda, rambut berantakan, dan mata sembabnya. Daniel takin Jane usai mengalami mimpi buruk yang hebat sampai-sampai Jane memanggilnya untuk datang kemari.

Bibir sedikit pucat itu merekahkan senyumannya. Jane mempercepat langkahnya dan memeluk Daniel. Hanya Daniel yang mampu memahami bagaimana rumitnya perasaannya kali ini. Haris? Sahabat satunya itu sekedar membantunya saat dalam keadaan susah, Haris juga baik selalu menjauhkannya dari orang-orang jahat. Huh, andai waktu kemarin Haris ada, Nicholas tak bisa menyakitinya.

"Daniel," suara Jane bergetar menahan isak tangis. "Aku butuh pelukanmu Daniel," tangis Jane teredam di dalam pelukan Daniel.

Melihat pemandangan tak mengenakkan mata itu, Robby menjauh. Ada perasaan cemburu meronta di hatinya.

Robert menyusul kepergian Robby, mengapa raut wajah Robby berubah sendu? Robert sendiri tidak tau.

"Robby," menepuk pundak Robby, teman masa SMA-nya itu menoleh kaget dengan keberadaan Robert.

"Kau?" berusaha memasang wajah bahagia, Robby tak akan menunjukkan kegalauannya karena Jane di peluk Daniel.

"Cemburu?" tebak Robert langsung pada intinya, ia mengerti dan bisa membaca raut wajah setiap orang. Setelah mempelajari karakter manusia, Robert lebih paham apa yang sedang di pikirkan juga di rasakan manusia itu sendiri.

Robby menggeleng, jangan sampai Robert mengetahui perasaannya kepada Jane. 'Biarlah aku simpan ini rapat-rapat. Menjadi cinta diam dan rahasia,' batinnya bertutur pilu.

"Jujur saja, menyukai seseorang juga harus di ungkapkan. Terutama kau adalah laki-laki. Nyatakan secara berani dan gentle, jangan bersembunyi dengan cinta sebelah pihak. Huh, menyakitkan memang. Tapi, daripada kau terbelenggu dengan perasaanmu itu," nasehat Robert agar Robby tidak salah meletakkan hati kepada siapa, mengenai Jane sudah menikah dan menjadi istri Danzel meskipun tak di anggap.

Robby mengangguk. "Terima kasih Robert. Aku usahakan menghilangkan perasaan ini," jawaban yang sungguh berbanding terbalik daripada hatinya, daripada Jane menjauh dan tak mau mengenalnya. Sebatas bodyguard biasa tidak mungkin bisa ada hubungan spesial bersama majikannya.

Beralih ke Jane dan Daniel, wanita rapuh itu menumpahkan tangisannya tanpa henti. Daniel menghapus air mata Jane beberapa kali.

"Jane, tenanglah," memegang bahu Jane. Tatapan lekat Daniel seakan menghipnotis Jane untuk menghentikan tangisannya.

"LEPAS DANIEL," menepis tangan itu, Jane teringat bagaimana Danzel pernah menyentuh bahunya untuk menenangkan kesedihannya.

"LEPAS!"

"Kau pergi dengan laki-laki atau perempuan?"

Dua kalimat terlontar dari bibirnya waktu itu sebagai tanda enggan di sentuh Danzel dan berusaha menghindarinya.

"Daniel," terkekeh lucu, bila orang lain melihatnya mungkin menganggap Jane gangguan jiwa karena pikiran terlalu berat hingga berakhir stress. "Aku..." bibirnya terasa sulit untuk berucap sepatah kata, Jane berada di titik rapuhnya. Tepat di depan Daniel, lagi untuk yang kedua kalinya setelah p3mbullyan kala masa SMA itu.

Menunggu apa yang akan Jane ucapkan. Hati Daniel semakin gelisah, tak tega dengan kondisi Jane yang se-frustasi ini.

"Daniel, aku-" jeda sejenak, Jane menghapus air matanya yang semakin deras. "Bisakah aku mencintai tanpa harus sesakit ini?" tatapan sendu dari lensa hitam berkaca-kaca, mata yang terlalu indah sampai di hiasi air mata.

Daniel mengangguk. Ternyata dugaannya benar bahwa selama ini Danzel hanyalah berpura-pura mencintai Jane.

"Laki-laki yang mencintaimu tanpa harus membiarkanmu berjuang sendirian, itulah laki-laki yang tepat," ujar Daniel memberikan wejangan kepada Jane agar tidak salah meletakkan hati.

"Aku mau mengetes Danzel. Apa dia cemburu atau biasa saja. Kau dan aku selalu dekat dan romantis," seketika Jane mempunyai ide cemerlang, dulu ia berniat menjalankan misi ini untuk mengetes seberapa besar kecemburuan Danzel saat ia dekat dengan laki-laki lain.

Daniel mengangguk lesu. Ia tak lagi bersemangat memberikan Jane nasehat tentang cinta. "Baiklah jika memang itu keinginanmu. Aku menyanggupinya," angguk Daniel merasa yakin.

"Mari kita jebak Danzel," wajah yang tadinya berselimut air mata kini terbitlah senyum seindah mentari. Jane sangat senang rencana ini. Bila Danzel cemburu, artinya Danzel mencintainya namun enggan mengaku karena gengsi.

Tanpa menjawab, Daniel diam saja. Ia tak setuju dengan cara Jane.

***

Danzel mencari cara untuk meyakinkan sang mama. Ia sekaligus harus mengembalikan kepercayaan Jane.

Mengacak rambutnya kesal. Danzel sampai kehabisan ide untuk membuat sebuah alasan.

"Aku harus apa?" di biarkannya minuman lemon tea masih tak tersentuh, minuman segar itu sama sekali tak bisa membuat pikirannya rileks. Serumit ini menjalankan peran sebagai orang yang pembohong. Ia pikir akan mudah, memberi alasan biasa dan Jane percaya. Dugaannya salah, karena Jane selalu curiga dan menuduhnya bersama Stella kemana pun. Ya, meskipun sesuai kenyataannya saat ini bersama Stella karena keinginan untuk liburan jauh dari orang-orang terdekatnya.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang