"Ya, aku pasti diam. Katakan saja kau tidak mau di akui sebagai seorang suami di hadapan semua orang," lirih Jane setengah berbisik, mendekat sedikit agar Danzel mendengar suaranya yang kecil.
Melirik malas Jane. "Terserah kau saja. Aku tidak sudi menjadi suamimu!" tekan Danzel kesal.
"Tapi, kita sudah menikah Danzel. Kau tak bisa menampik fakta ini. Bahkan kemarin di kantor pada karyawan tidak setuju hubunganmu dengan Stella. Ck, wanita itu tidak di restui semua orang," sedikit meremehkan Stella tentu membuat Danzel ingin marah detik itu juga. Namun sadar posisinya saat ini sedang ada dalam pesawat. Tidak mungkin Danzel meluapkan amarahnya kepada Jane, para penumpang pasti membecinya yang telah berisik dan menganggu.
"Kau masih saja membahasnya?" Danzel merasa terganggu. Jane tak bisa diam sedetik pun.
"Haha, Danzel. Ini fakta, Stella dan kau harus berakhir. Bukan di pertahankan seperti ini. Ingat, aku ini istrimu," mendekat dan berbisik manja pada Danzel.
Seketika bulu kuduk Danzel merinding. "Menjauhlah!" ia menyingkirkan Jane yang terlalu dekat di wajahnya, bahkan hampir mencium bibirnya.
Jane terkekeh. "Hehe, gemes," mencubit pipi Danzel. Suaminya itu mengeluh sakit padahal cubitannya sangat pelan.
Diam-diam Robby memotret kemesraan antara Jane dan Danzel. Ia mengirimkannya pada Anette.
***
"Aduh, Danzel sekarang lagi bulan madu sama Jane. Aku harus lakukan sesuatu. Biar bulan madu mereka hancur," setelah lama berpikir, Stella akhirnya menemukan sebuah ide cemerlang untuk mengacaukan bulan madu Danzel dan Jane.
"Aku pura-pura sakit aja ya? Biar Danzel perhatian sama aku," bibir Stella merekah senyum. Kekasihnya itu akan khawatir apabila dirinya jatuh sakit.
"Ok, telepon Danzel sekarang. Jangan kasih kesempatan malam honeymoon Danzel sama Jane," tangan Jane mencari kontak Danzel. Menunggu panggilan terhubung.
"Stella, hallo. Ada apa?" suara lembut Danzel disana membuat Stella jadi senyum-senyum sendiri.
"Aku sakit sayang. Bisakah kau ingatkan aku minum obat?" suara Stella dibuat lemah dan serak, agar Danzel percaya bahwa dirinya saat ini sedang jatuh sakit.
"Sakit?" panik Danzel seketika jadi khawatir. Ia tak bisa tenang jika Stella sedang sakit.
"Seandainya kau membatalkan bulan madunya. Mungkin sekarang kau merawatku Danzel sayang. Membuatkanku bubur ayam enak," ujar Stella dengan nada sedihnya. 'Semua ini gara-gara kehadiran Jane. Kalau saja Jane tidak kenal Danzel, hubunganku sampai sekarang pasti selalu baik-baik saja,' batinnya dalam hati.
"Maafkan aku Stella. Semua ini atas kehendak mama. Aku tak bisa menolaknya," ucapan rasa bersalah Danzel di seberang sana mambuat Stella semakin sedih.
"Tapi, kau dan Jane tidak melakukannya kan?" tanyanya ragu-ragu. Biasanya bulan madu tak luput dari hubungan ranjang. Stella tak dapat bisa membayangkan apabila Danzel melakukannya dengan Jane.
Suara kekehan Danzel selalu saja membuat Stella kesal.
"Danzel! Aku serius! Jawab!" desak Stella tak sabaran.
"Tentu tidak. Untuk apa? Aku tidak mencintai Jane. Tapi mencintaimu," gombal Danzel romantis. Pipi Stella bersemu merah.
"Terima kasih Danzel sayang. Ciumnya? Boleh kan cium jauh?" Stella mengedip menggoda Danzel. Andai saja Danzel ada di hadapannya.
"Apa? Cium? Mimpi!" tiba-tiba suara melengking Jane menyahut.
"Danzel! Halo? Danzel sayang?" sapa Stella karena panggilan sudah berakhir. "Gara-gara Jane! Aku gagal cari perhatian sama Danzel," gerutu Stella kesal.
"Cara apalagi yang harus aku lakukan?" Stella bingung dan larut dalam pikirannya. Mencari ide supaya Danzel tidak terlena dengan Jane. Ah, mustahil Danzel pasti menghindar.
***
"Kenapa kau merampas ponselku tadi?" tanya Danzel tajam. Saat ini makan malam sudah siap, terlihat Jane mengambil steak-nya dengan tangan tanpa menggunakan pisau dan garpu.
Jane mengurungkan niatnya memakan steak daging sejenak. "Kenapa? Stella minta di cium melalui telepon? Hahaha, lucu sekali ya kalian ini," Jane terkekeh. Ada-ada saja permintaan aneh Stella.
"Oh, kau mau aku melakukannya secara nyata saat pulang dari bulan madu setelah ini?" tanya Danzel dengan tatapan mengintimidasinya.
"Apa? Kau nekat? Tenang, aku akan melaporkannya ke mama Anette. Biarlah kau di sidang dan di hukum!" ancam Jane kesal. Danzel selalu saja berhasil membuatnya cemburu berlebihan. Sampai kapanpun, Stella menempati posisi spesial di hati Danzel. Jauh berbeda dengan dirinya yang terasa sulit membuka hati Danzel agar memulai cinta yang baru, membuang cinta lama dan melupakannya.
Danzel berdecak kesal. "Selalu saja mengadu sebagai senjatamu."
"Hehe, kalau nanti kau tidak melakukannya aku juga akan bilang pada mama Anette," Jane kembali memakan steak daging enak itu. Ia baru pertama kalinya mencoba. Mata Jane terpejam, terlena dengan enaknya sebuah steak daging.
Danzel terbelalak tak percaya. "Apa? Kau sudah hilang akal? Jangan!" panik Danzel ketar-ketir. Ia tau topik apa yang Jane sedang bahas. Apalagi jika bukan hubungan ranjang suami istri?
"Ya, lalukanlah. Aku tidak akan mengancamu seperti ini."
Danzel menghela nafasnya. Tidak ada pilihan lain.
Bibir Danzel tersenyum samar, bahkan jika Jane melihatnya tersenyum saja tidak akan kentara. 'Tapi aku tidak akan memberikanmu benih. Aku tidak mau mempunyai anak darimu. Yang aku inginkan adalah anak dari Stella saja,' ucap Danzel dalam hatinya.
***
Ting!
Satu pesan dari Stella saat pukul 9 malam. Jane sudah lebih dulu siap merebahkan dirinya di ranjang. Sedangkan dirinya ada di dalam kamar mandi.
Stella kekasihku
Sayang, aku tadi telat minum obat. Kau tau? Aku pingsan! Sekarang di rumah sakit. Andai kau disini, pasti menemaniku sekarang
Anda
Minumlah obatnya. Agar kau lekas sembuh. Setelah pulang dari bulan madu, aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Waktu berdua saja
Stella kekasihku
Wah? Benarkah? Ah, terima kasih Danzelku sayang.
Tidak ingin membalas pesan Stella. Danzel pun berusaha mempersiapkan dirinya untuk menyentuh Jane. Malam ini, malam yang sangat berat akan di laluinya. Malam indah tak pernah menjadi keinginan Danzel dengan orang yang tidak ia cintai.
Setelah siap. Bahkan Danzel tidak ceroboh untuk memasang pengaman agar Jane tidak hamil anaknya.
"Danzel?" menatap Danzel menggoda. Lihatlah Jane saat ini, bersandar dan meliukkan tubuhnya berusaha menarik gairah Danzel.
"Ayo, kita lakukan sekarang," ucap Danzel. Hatinya tidak tenang, ia sama sekali tidak tertarik dengan bentuk tubuh Jane yang terbilang berisi itu.
"Danzel, tolong lepaskan pakaianku," pinta Jane pasrah. Seakan memberikan ruang izin berkuasa untuk Danzel.
Setengah mati Danzel gugup, tangannya gemetar melepas pakaian Jane satu persatu.
Terpampang tubuh Jane tanpa sehelai kain apapun.
"Mulailah Danzel. Ingat, pesan mama Anette? Bawakan kabar baik, cucu mungil hadir diantara kita," tangan Jane mengalung di leher Danzel. Menarik Danzel agar mendekapnya lebih erat.
"Sebentar," melepas tangan Jane yang bergelayut manja. Danzel hampir saja kehabisan nafas. Jane benar-benar membangkitkan hasratnya.
'Bagaimana ini? Aku tak bisa melakukannya dengan Jane. Bahkan aku tak pernah menyentuh Stella kecuali menciumnya saja,' batin Danzel benar-benar diambang dilema.
'Jane terkadang jujur dan keceplosan di hadapan Stella. Bila nanti Jane jujur tentang hubungan ranjang ini, perasaan Stella akan hancur. Bahkan hubunganku juga berakhir,' pikiran Danzel tertuju pada Stella. Ia masih belum melakukannya dengan Jane. Pakaiannya melekat rapi. Tak di hiraukannya sentuhan-sentuhan Jane yang meggelitik dada dan area sensitifnya yang lain.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Billionaire Husband's [END]
RomanceBiar nambah referensi cerita semua genre catat profil wattpadku atau follow❤ Warning!! Beberapa part terdapat adegan dewasa. Untuk 18+ Konflik bertahap Kejutan episode terpanjang!!! Jane terpaksa harus menikah dengan Danzel demi biaya pengobatan ib...