Episode 56

121 9 2
                                    

"Hapus air matamu, Jane. Untuk apa kau menangisi laki-laki tak pantas seperti Danzel?" rasa tidak tega melihat Jane menangis walaupun bibirnya berkata sangat yakin untuk melepas Danzel, pastinya hati Jane begitu berat terutama Danzel adalah pria yang pertama kali telah berhasil membuat Jane jatuh cinta untuk pertama kalinya. Wajar saja cinta pertama sangat sulit di lepas dan di lupakan.

Jane mengangguk, ia tidak perlu membuang-buang air matanya. "Mungkin karena aku sudah terlalu jatuh cinta lebih dalam kepada Danzel," suara lirihnya yang melemah, rasa sakit di kepalanya kembali lagi. Sebisa mungkin Jane menahan bibirnya untuk tak mengeluarkan rintihan sakit. Selama kepalanya di bebani banyak pikiran, saat itulah rasa sakit yang tertekan kembali muncul. Sebelumnya Jane tak pernah mengalami hal ini.

"Jane, lebih baik kau beristirahat saja ya. Besok kita pulang lagi ke Jakarta," nasehat Daniel yang tidak tega melihat penampilan Jane sembab usai menangisi Danzel.

Semakin berat Jane memikirkan Danzel, mata Jane perlahan-lahan gelap. Hingga akhirnya Jane pingsan.

"Jane? Astaga," Daniel terkejut melihat Jane pingsan. "Menginap satu malam saja. Jane, sadarlah," menggendong tubuh Jane ala bridal style menuju kamar nomor duapuluh.

Daniel membaringkan tubuh Jane. Kulitnya tak sengaja bersentuhan, Daniel merasakan suhu tubuh Jane panas.

"Kau demam?" menggeleng heran, sampai segitu cintanya Jane pada Danzel, rela nekat menyusul Danzel ke Surabaya, mencarinya sampai menemukan barang-barang tak terduga seperti syal dan ponsel baru Danzel. Cobaan berat yang di lalui Jane sampai membuat kondisi Jane menurun.

"Danzel," bibir Jane bersuara lemah, ia memanggil-manggil Danzel. Jane sedang memasuki alam mimpinya.

Jane bermimpi dimana Danzel lagi-lagi satu kamar dengan Stella. Jane masih terpaku memikirkan Stella, tak sedikitpun terbesit di kepalanya menggambarkan siapa sosok nama 'wanitaku' di kontak ponsel baru Danzel.

"Danzelku sayang. Kita di kamar berapa? Hm?" Stella menggamit tangan Danzel begitu mesranya, ia dan kekasihnya itu sedang berada di depan resepsionis hotel.

"Terima kasih," menerima kunci kamar bernomor 16. Menoleh menatap Stella yang tersenyum cantik, pagi-pagi di suguhkan pemandangan menyegarkan bagi Danzel. Melihat wajah Stella yang sempurna, riasan make-up tak pernah luntur, entah berapa lapis bedak di gunakan Stella mungkin sepuluh lapis.

"Kita bebas sayang. Tidak ada Jane, bodyguardmu, dan mama Anette," langkah Stella mendahului Danzel, ia masuk di kamar 26 sesuai pesanan Danzel. Ia dan sang kekasih akan menginap disini. Selama liburan di Surabaya, tak ada lagi yang akan menjadi penghalangnya dengan Danzel.

"Kau gerah?" tanya Stella sedikit nakal, ia membuka satu-persatu kancing baju Danzel hingga menyisakan kaos putih polos serta d4d4 b1d4ng terekspos indah di mata Stella.

Danzel mengangguk patuh, ia pasrah apapun yang akan Stella lakukan disini.

"Manjakan aku Stellaku, sayang," bisik Danzel, posisinya sangat dekat, tangannya tak tinggal diam meraba ritsleting pakaian Stella. Membukanya hingga Stella tak mengenakan apapun.

"Danzel," menuntun sang kekasih diatas ranjang, Stella menarik tubuh Danzel hingga menindihnya. Posisi yang 1nt1m ini akan membuat siapapun menyangka dirinya dan Danzel sedang melepaskan k3n1km4t4n.

"Kenapa Stella? Kau ragu?" mata Danzel menatap manik coklat madu milik Stella, sangat indah dan menyejukkan hatinya. Jauh berbeda dengan Jane yang hanya memiliki lensa hitam biasa. Danzel tidak yakin bisa mendapatkan anak cantik dan tampan. Sedangkan Stella? Kekasihnya itu ada campuran darah Belanda-Indonesia. Namun sayangnya, kedua orang tua Stella meninggal usai mengalami kecelakaan beruntun dua tahun yang lalu. Menyisakan duka dan luka. Maka dari itu, Danzel berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Stella selamanya. Kekasihnya itu sudah tak mempunyai siapa-siapa, begitu pun saudara, seakan lupa dengan Stella.

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang