Episode 26

179 9 0
                                    

"Matikan senternya! Silau, Danzel. Mataku sakit," keluh Jane melindungi matanya dari paparan cahaya senter dengan telapak tangannya.

Danzel menjauhkan cahaya senternya dari pandangan Jane. "Maaf," ia duduk di samping Jane.

"Kenapa tadi kau bisa pingsan? Bahkan di depan kamarku," menatap lekat Jane, menunggu istrinya itu menjawab dengan jujur.

"Aku memintamu membuka pintu. Berteriak ketakutan, tapi kau tidak mendengar suaraku sama sekali," Jane merasa kecewa, ia menunduk tak berani menatap mata Danzel.

Sejenak Danzel berpikir saat ia tertidur pulas karena mendengarkan musik melalui earphonenya.

"Kenapa kau tidak masuk saja? Pintunya-" ucapan Danzel tersela oleh Jane.

"TERKUNCI! KAU SENGAJA MENGUNCINYA AGAR AKU MATI BERDIRI DI DEPAN KAMARMU?" sedikit berang Jane memarahi Danzel dengan nada tingginya. Hampir saja nyawa Jane melayang karena ulah hantu tak kasat mata itu.

Danzel gelagapan sendiri. "Aku sedang mendengarkan musik. Aku tak mendengar suaramu. Mati apa? Memangnya ada yang menggangumu saat lampu mati berlangsung?" heran Danzel, Jane sepertinya sangat takut dengan kegelapan.

Jane mengangguk. "Dia, datang lagi," jawabnya lesu. Sosok yang sama berusaha merenggut nyawanya.

"Dia siapa? Ceritakanlah padaku," tangan Danzel memegang bahu Jane yang masih gemetaran. Se-takut itukah Jane terhadap sosok tak kasat mata?

Merasa lelah, Jane bersandar di bahu Danzel. Ia memeluk suaminya dari samping. Terasa lebih tenang dan baik daripada sebelumnya.

"Hantu. Sejak aku di bawa ke ruangan gelap minim udara, para penunggu rumah itu mengganguku Danzel. Makannya aku sampai pingsan, biarlah tidak perlu melihat mereka lagi. Bahkan sebelum aku pingsan masih berharap kedatanganmu. Dan ternyata harapanku di dengar oleh Tuhan. Kau benar-benar datang menyelamatkanku. Terima kasih Danzel," sangat erat Jane memeluknya. Ia tak ingin kehilangan Danzel, sudah terbukti dengan menyelamatkannya dari perempuan jahat yang berusaha menghabisinya sebentar lagi. Mengingat hal itu, Jane ingin tau masa lalu Danzel bagaimana.

"Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa padamu?" membiarkan Jane memeluk tubuhnya, Danzel merasakan nyaman dan tenang. Sampai ia lupa diri dengan Stella, pacarnya.

Ragu, Jane ingin sekali jujur pada Danzel. Namun niat itu ia urungkan. Perempuan jahat yang memgurungnya, mengenali siapa Danzel. Bahkan tentang pernikahannya yang di rahasiakan.

'Lebih baik aku pendam saja. Daripada rumah tanggaku berantakan karena adanya satu perempuan jahat lagi. Cukup Stella saja yang memusingkan kepalaku,' biarlah ia sendiri yang tau.

"Danzel. Kau tau? Kenapa aku begitu takut dengan makhluk tak kasat mata?" mengalihkan pertanyaan Danzel, lebih baik membahas traumanya di masa lalu. Takut akan lampu yang padam. Gelap, sunyi, dan menyeramkan.

Danzel merasa tertarik. Jane pasti bercerita. "Kenapa? Karena terkejut? Wajahnya menyeramkan? Membuatmu ngompol?" tanya Danzel menggoda Jane, istrinys itu seketika cemberut dan memalingkan wajahnya. Jane marah.

"Apasih. Salah! Mana ada aku ngompol. Dengarkan dulu," gemas Jane terlanjur kesal pada Danzel. Ia sempat merasa heran mengapa Danzel tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang hangat bahkan mau mendengarkan sisi lain kehidupannya, seperti trauma gelap.

"Ok. Aku dengarkan. Jelaskan kenapa kau bisa takut kegelapan," bibir Danzel terdiam. Jane pun mulai bercerita.

"Waktu itu.."

Pada saat kelas 12 SMA. Siswi seperti Jane tidaklah mempunyai teman banyak. Selain karena perbedaan status, Jane di jauhi oleh teman-temannya. Bahkan sebagian dari mereka membenci Jane.

Usai izin akan pergi ke toilet, Jane di giring paksa oleh Stella. Ya, sudah sejak lama Jane mengenal Stella bahkan dua dayangnya yang sedikit galak itu.

"Stella, aku mau dibawa kemana?" tanya Jane kebingungan.

"Kau beruntung sekali ya. Juara matematika dan menggeser posisiku? Berani huh?" tantang Stella berang. Gara-gara Jane ia di permalukan teman sekelasnya. Katanya Jane jauh lebih baik. Padahal sebelumnya Stella selalu menempati posisi juara pertama, dan Jane tidak pernah masuk nominasi juara.

Jane menggeleng, hanya sebuah kesalahan kecil seperti itu saja Stella langsung mengamuk dan tidak terima.

"Tapi itu sesuai penilaian juri. Dan aku berusaha sebisaku. Aku tidak tau apa-apa," ucap Jane menggeleng.

"Kunci di gudang sekolah. Biarkan saja Jane di makan kecoak," perintah Stella kepada dua temannya yang selalu kemanapun berada di sisinya. Menyingkirkan orang-orang yang menurunkan peringkatnya.

"STELLA! BUKA!" setelah di dalam gudang, Jane menggedor pintu itu berkali-kali berharap Stella membuka pintunya.

"Ayo, kita pergi. Salah sendiri juara satu. Gara-gara dia aku di bandingkan oleh teman sekelasku," kata Stella tersenyum puas.

Setelah Stella pergi, Jane terus berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu orang pun yang mendengar suaranya.

"Aku lupa, kalau gudang sekolah ini kedap suara," akhirnya Jane menyerah. Ia terduduk lemas bersandar pada pintu. Sangat gelap, Jane tak bisa melihat apa-apa.

Karena mata Jane berat, ia tertidur. Rasa kantuk itu menyerang apalagi di siang hari begini.

***

Hari menjelang sore, Jane merasakan kakinya di sentuh oleh seseorang.

Jane mengerjapkan matanya. Melihat seseorang di hadapannya. Namun, setelah menangkap objek yang menyeramkan, Jane berteriak ketakutan.

Sesosok hantu perempuan berambut panjang, wajah pucat dan mata yang melotot itu memandang Jane tajam.

"KAU SIAPA? PERGI! WAJAHMU MENYERAMKAN!" kaki Jane meronta, berusaha menyingkirkan sosok perempuan menyeramkan itu.

"Hihihi, aku tidak akan pergi. Senang sekali kau datang ke gudang ini. Dan kau termasuk korban selanjutnya," ia menakut-nakuti Jane. Sampai Jane pingsan, tak lagi berteriak.

***

"Semenjak itu, aku takut dengan gelap. Pasti dia datang lagi, Danzel," Jane selesai menceritakan awal mulanya ia tidak suka lampu mati.

"Sstt, tenang. Aku disini. Lampunya akan menyala sebentar lagi. Tidak perlu taku," meraih tubuh Jane, mendekapnya memberikan ketenangan untuk sang istri.

'Andaikan setiap hari lampu mati. Aku rela meskipun harus pingsan dan bertemu hantu perempuan itu, demi merasakan pelukan Danzel. Tak pernah aku bayangkan rasa peduli Danzel muncul ketika di saat begini. Tuhan, berikan waktu lebih lama. Aku masih ingin bersama Danzel,' batin Jane berharap.

***

Setelah lampu kembali menyala. Jane tidur di kamar Danzel. Bahkan Jane meminta Danzel untuk memeluknya. Jane masih tidak tenang, padahal itu hanya di buat alibi saja.

'Danzel kenapa tak memberi kabar Stella ya? Danzel juga tidak menghubungi. Apa karena Danzel mementingkan aku daripada Stella?' bertanya-tanya dalam batinnya. Jika itu memang benar, hati Jane senang. Kapan lagi bisa berdua dengan Danzel?

"Kenapa masih begadang? Aku merasa kau sejak tadi melihatku. Ada apa?" sebenarnya Danzel tidak nyaman, Jane terus menatapnya.

Menggeleng. Jane berkata. "Tidak ada apa-apa. Aku mau kita seperti ini terus," jawabnya sedih. Tak ada salahnya meminta pada Danzel, karena memang itu haknya sebagai istri. Sejak pernikahan itu, Danzel menjauh dan membangun jarak dengan dirinya. Enggan untuk dekat.

"Maaf, tidak bisa. Jangan terlalu berharap padaku," menjauh dari Jane, melepaskan pelukannya. Danzel membelakangi Jane. Ada saja permintaan Jane.

'Jadi, dia cuma modus? Agar aku memeluknya? Ck, murahan sekali Jane. Lain kali kalau dia disaat pingsan atau takut hantu, aku biarkan saja,' gerutu Danzel dalam hatinya. Ia tidak peduli lagi. Bersikap romantis seperti tadi, sama saja memberikan harapan pada Jane untuk di cintai. Nyatanya, Danzel tidak ada perasaan apa-apa dengan Jane, keculi pada Stella. Ah, astaga ia sampai melupakan Stella. Mamanya sudah pulang, saatnya memberikan kabar pada kekasihnya itu.

***

My Billionaire Husband's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang